Tuesday, December 11, 2007

19 Desember di 21...


Film "Ayat-ayat cinta"-nya Hanung Bramantyo di rilis di bioskop. Banyak orang menanti. Dulu saya juga sangat menantikan film ini, bahkan ketika Salman Aristo masih membaca novelnya, saya menantikan skenarionya jadi dan sangat ingin membacanya.

Masa-masa awal ayat-ayat cinta direncanakan untuk di produksi, saya mendengar banyak adu pendapat antara Habiburrahman dengan produser dan sutradara. Mereka memiliki cara pandang yang berbeda saya kira. Yang bisa jadi, gak akan pernah menemui titik kesepakatan. Novel yang begitu sarat dengan nilai-nilai religi ini ketika berhadapan dengan media film, jelas akan mengalami banyak penawaran untuk kompromi. karena bahasa novel tidak sama dengan bahasa film. Tapi sepertinya novel ini terlalu berharga untuk berkompromi pada banyak pemakluman. Di satu sisi, produser dan sutradara, juga penulis mungkin terlalu ajeg dengan idelisme bahwa film adalah karya yang tidak berhak terhambat oleh banyak batasan. Namun film ini tetap lahir, masih dengan menggunakan judul yang sama dengan novelnya, ide cerita dan alur yang sama, juga penokohan yang tidak berbeda sama sekali.

Film ini nyaris menjadi buku yang digambarkan dengan gerak dan suara. Namun sekali lagi, jelas ada perbedaan. Entah perbedaan itu akan memuaskan penonton yang juga pecinta bukunya atau malah membuat kecewa, kita belum tahu. Meskipun sang sutradara di belahan dunia manapun selalu mengingatkan para penontonya untuk tidak membandingkan novel dengan filmnya, namun penonton adalah penonton. Yang memiliki kekuatan penuh untuk memutuskan merasa kecewa atau puas terhadap sebuah karya film. Perbandingan antara membaca dan menonton saya kira tidak bisa dielakkan. Toh, ketika skenarionya dibuat, sang penulis jelas telah melakukan sebuah perbandingan. Begitupun sang sutradara dan produsernya.

Saya kira Hanung dkk sudah siap dengan semua itu, atau malah bagi mereka bukan sesuatu yang berarti bila film ini mengecewakan suatu kalangan, seperti rasa kecewa yang dialami penulis novelnya. Atau Hanung sangat menyadari bahwa kalangan yang mungkin akan kecewa itu justru tidak akan masuk bioskop, bukan lantaran saking kecewanya, tapi memang bukan kalangan yang lazim untuk masuk bioskop. Entahlah...

yang jelas, Hanung dkk telah selesai menunaikan tugasnya sebagai kreator. Tinggal kita, yang masih merasa lazim menonton di bioskop, duduk manis menyaksikan film itu tayang di layar. Yah, tidak perlulah bersusah payah menahan diri untuk tidak membandingkannya dengan novel, biarlah hal itu terjadi dalam diri kita mengalir... dan semoga saja bukan rasa kecewa yang kita dapatkan...



1 comment:

mymovies said...

mari qta menonton ayat ayat cinta bersama ...

=),
dha