Saturday, March 9, 2013

Terbang

Pada kawan di ujun Savana,
Di bawah atap langit maha luas,
Yang menunggu di satu felicium yang sebatang kara,
Maukah kau kau tiupkan serbuk bunga rumputmu?
Sampaikan pada angin barat, untuk membawanya kepadaku di sini.
Dan pada langit maha luas, apakah ku bisa mencipta jiwa peri?
Hingga mengecil seluruh raga ini.
Agar bisa kunaiki serbuk bunga savana itu.
Untuk aku terbang.
Terbang ke barat.
Ke tempatmu, kawan.

Ough!

Its too hurt to write.

Fix?

Allah, just please stay with me.

Thursday, March 7, 2013

A best friend

Kita pasti punya seorang kawan baik, bukan?
Setidaknya jika sekarang tidak, pasti pernah kan?

Menyenangkan sekali punya sahabat itu, bukan?
Dan menyenangkan sekali menjadi seorang sahabat.

Hampir semua bisa kita bagi. Sedih, senang, marah, kesal, mimpi, harapan, juga kopi, pulsa, duit pinjaman dadakan, bahkan kaos tidur.. Apapun.

Maka idealnya, sahabat terbaik adalah yang selalu ada di dekat kita. Kapanpun. Dekat dalam segala arti. Beruntunglah mereka yang bersahabat dengan pasangan hidupnya.

Tapi bersahabat, bukan berarti bahagia selamanya. Ada saat kita berselisih, berbeda pandangan, bahkan saling mengecewakan. Tapi kayakinan bahwa kita adalah sepasang sahabat baik, akan  membawa kita kembali berkawan, menyelesaikan segala perseteruan yang terjadi dan kembali tersenyum bersama. Pada seorang sahabat, sesungguhnya tak ada hal yang cukup besar yang mampu menggoyahkan. Dengan seorang sahabat, apapun semestinya bisa berakhir dengan bahagia.

Ada kalanya kita yang lupa, lupa untuk ceria. Lupa untuk berbagi. Berbagi segala hal, sampai hal terkecil sekalipun. Lalu kebersamaan menjadi merenggang tanpa kita sadar. Semua jadi semu. Tapi jangan pernah terpikir itu sebuah akhir. Tak ada akhir bagi sebuah persahabatan. Seperti hubungan ibu dan anak, saya percaya bahwa hubungan antara sepasang sahabat baik sesungguhnya juga abadi. Mungkin semua hanyalah sekedar alfa. Sekedar lupa. Tentang hal-hal yang bisa dinikmati bersama. Pada keceriaan-keceriaan sederhana yang tanpa sengaja tertutupi oleh penatnya hidup.

Padamu, sahabat.
Maafkan untuk semua keceriaan yang mulai luntur.
Maafkan untuk semua cerita lucu yang aku lewatkan untuk diceritakan padamu.
Maafkan untuk senyum yang menjadi lebih jarang.
Percayalah, tertawa bersamamu adalah hal yang paling aku rindu di dunia ini.
Seperti pagi ini, yang terlewat begitu saja tanpa sebuah cerita apapun yang bisa mengumbar tawa membahana di bawah atap kita.

Mungkin sulit untuk membangun kembali semua keceriaan itu. Karena kita menumpuk terlalu banyak kegelisahan dan pikiran-pikiran tidak bahagia yang sebenarnya tidak perlu.

Tapi bisakah kita bangun kembali? Bila terlalu sulit untukmu, biar aku yang mulai. Bila leluconku tidak lagi terasa lucu, maukah kau cari yang lebih lucu? Dan kelak kita kembali punya rasa itu. Rasa yang membuat kita selalu tidak sabar untuk saling bercerita.

Bila masih saja terlalu penat hidup ini, maukah kita pergi bersama sebentar? Ke tempat yang lebih lapang. Tempat di mana kita bisa berteriak bersama. Tempat yang hanya dibatasi oleh langit yang sebenarnya tak punya tepi.

Bilapun mimpi kita tak lagi sama, jalan yang kita tempuh berbeda. Tapi bukan berarti kita harus menjauh bukan? Kau pernah bilang, itu bisa membuat kita punya lebih banyak cerita.

Untuk semua pikiran-pikiran berat, tumpahkanlah sedikit demi sedikit. Seperti kata Dumbledore, tentu saja semua itu ada dalam pikiran kita, tapi mengapa itu tidak berarti nyata? Itulah mengapa kegelisahan bisa terasa amat nyata terjadi. Jadi, mari pikirkan hal-hal yang membahagiakan, kawan! Dan semoga ada aku di dalamnya.

:)






A brand new

Too many stories to tell, too lazy me.

Hehe...

Well, yeah.

Janji mau nulis ttg proses penulisan novel, gak jadi juga. Sampai niat itu melempem dengan sendirinya. Tapi... Ada hal lain yang sebenarnya lebih "seru" di luar pengalaman menulis novel pertama saya. Hal yang kemudian membuat janji menulis blog tentang novel pertama menjadi tak penting lagi.

Entah apa yang sebenarnya tengah dirangkai Tuhan untk saya. Tapi kepercayan penuh yang saya bangun padaNya sejauh ini selalu terbukti merupakan kekuatan terbesar saya dalam menghadapi segala sesuatu.

Dalam hitungan bulan, saya merasa telah bolak balik hidup selama berabad-abad. Ini bukan sesuatu yang menyenangkan. Sangat melelahkan malah. Tapi untuk semua hal yang berat itu, saya ingin mengucap syukur yang sebesar-besarnya, karena rasa percaya yang tetap setia berada dihati dan seluruh jiwa. Rasa percaya pada Tuhan. Pada Allah. Pada Sang pemilik semesta.

Seringkali, atau memang aturannya begitu, kekuatan hadir bertambah karena adanya sebuah penderitaan. Kemahiran yang meningkat tak akan muncul tanpa ujian. Mungkin itulah yang tengah terjadi. Selain karena sebagai hamba yang masih belia dalam hal taqwa dan ahli soal dosa, sehingga Allah perlu memberi saya pelajaran.

Sering saya terbangun di banyak pagi belakangan ini dengan pertanyaan yang sama. Mengapa saya masih bertahan? Sementara saya sadar sesadar sadarnya bahwa peluang untuk kembali jatuh dan sakit tetap terbuka lebar di hadapan saya jika saya masih berada di tempat yang sama. Karenanya, entah berapa kali saya ingin berontak lari, pergi sejauh-jauhnya dari hidup saya hari ini. Namun, selalu ada bagian yang menahan. Bagian yang mungkin cukup kecil sebagai suara hati, namun cukup kuat bersuara. Bagian yang setiap kali saya kembali menangis terpuruk, ia akan berkata, bukan saya yang harus pergi, tapi keegoisan, ketidaksabaran dan kemunafikan yang harus pergi. Bagian kecil itu juga bilang, untuk seluruh kepercayaan yang cukup besar pada Sang Maha Agung, apalagi yang perlu saya khawatirkan? Bersama-Nya, tidak ada yang terlalu sulit untuk kita lalui dalam hidup. Maka berserah, sambil berusaha bangkit adalah jalan yang tebaik.

Meski pada akhirnya pertarungan selalu dimenangkan oleh suara hati kecil itu. Tapi selalu menyisakan sebuah kelelahan yang luar biasa. Menangis itu melelahkan. Hati juga raga. Satu-satunya jalan adalah membangun lupa. Mengupayakan lupa. Pada semua yang pernah menyakiti. Pada semua rasa sakit. Pada semua yang menyebabkan kita terpuruk. Soal maaf, itu seribu kali lebih mudah dari melupakan.

Melewati sepanjang hari dengan segala prasangka, dan melewatkan malam hari dengan segala ketidakpuasan, sungguh tidak nyaman! Tapi mungkin inilah aturannya. Agar saya bisa lebih keras berusaha. Hidup tetap di depan mata, ia tak kan berpindah kemanapun.

Maka pada akhirnya, saya harus berdamai pada kenyataan. Dan menggenggam kepercayaan padaNya dengan sungguh-sngguh. Agar saya tidak lagi merasa hidup sendiri. Saya berjalan bersama-Nya. Dan itu jauh lebih luhur untuk terus saya perjuangkan..