Wednesday, December 12, 2012

Partner In life

Seminggu kemarin, total saya dan Nawla tepar bersama. Sakit yang sama, demam yang sama. Hanya berdua, karena suami sedang di puncak kesibukannya ngurus kantor dan kuliah. Frustasi, tentu saja. badan yang sakit di sekujur tubuh rasanya enak paling enak direbahin. tapi anak harus diurus jugs, rumah harus diberesin, belom lagi ngurus keperluan suami. Ada saat-saat sedih banget melalui semuanya sendiri. Saya bisa tiba-tiba nangis bila frutasi datang (apalgi barengan dengan datang bulan, hormon ancur leburlah pokoknya). Saat itu biasanya Nawla dengan tangannya yang sama-sama lemas dengan saya, akan mengelus-ngelus saya dengan lembut sekali. Nawla gak ikut nangis ketika saya nangis frustasi, dia berusaha tegar dan bilang, bahwa kita melalui semua ini berdua, bukan ibu sendiri. lalu frustasi menguap begitu saja. Moment yang emosional banget? melow banget? mungkin. tapi buat saya ini senyata puncak gunung fuji yang putih tertutup salju. moment ini sama indahnya.

Sehari sebelum saya sakit, saya nonton Life of Pi. Saya menikmati film itu dalam arti sebenarnya, karena gambar yang sangat menawan dari Ang Lee. mengenai isi cerita, jujur, saya baru merasa melengos, lega dan puas di satu kalimat menjelang akhir yang diucapkan oleh Pi Partel dewasa, "Ada 2 cerita, memiliki akhir yang sama tapi jalan yang berbeda, mana yang kau pilih?" dan si kawan asing memilih, yang ada harimaunya. Pi Partel tersenyum, "Itulah Tuhan" (mungkin gak persis begitu ya dialognya, saya lupa, tapi intinya itu).

Setelah nonton, lalu saya tiba-tiba terdampar pada situasi yang kurang lebih sama dengan Pi. Memang tidak sedramats itu sih. Tapi pengalaman sakit berdua Nawla membuat saya merasa seperti Pi dan Richard Parker. Si Richard Parker tentu saja Nawla. Saya memang lebih beruntung karena "macan Benggala" saya bukan karnivora yang bisa menyantap ibunya sendiri. Dalam hal ini, saya bicara soal Partner in Pain. Teman dalam kesedihan.

Seperti hal-nya Pi, awalnya saya merasa sendiri. Lalu Nawla berjuang menunjukkan eksistensinya pada saya, bahwa ini adalah perjalanan sakit milik berdua. Kami saling menyemangati dalam cara masing-masing. Ada saat-saat sayapun marah dan kesal pada Tuhan atas semuanya, seperti Pi berteriak di tangah samudra. Tapi Tuhan dengan santai menyodorkan seorang kawan. Lalu saya dengan bodoh dan daya tangkap yang lambat menerima kenyataan itu dengan pelan, menerima bahwa Nawla adalah "kawan" sekaligus "device" untuk saya agar bisa melalui segala kesulitan ini. Dan pada akhirnya kita bisa melalui sakit ini berdua, sembuh bareng dan tersenyum bersama.

Happy end :)

Intinya adalah: te-man. Kawan, rekan, partner. Kita bisa saja dihujani jutaan kesulitan dalam hidup, dengan kadar yang semakin berat. tapi selama kita punya teman untuk berbagi segalanya, tak ada yang cukup sulit untuk kita lalui. Teman bukan sekedar orang yang secara teknis memberikan bala bantuan pada kesulitan kita, tapi lebih kepada someone beyond, a spirit, ato apapun yang ketika kita ingin berpaling sedikit dari kesulitan pahit di depan kita, "a spirit" yang ada di samping kita akan memberikan senyum dukungannya. Itu saja, sesederhana itu seorang "Partner in Pain" bekerja. Dia hanya perlu "ada" dengan keberadaan yang bila kita tatap akan menyalurkan energi baru dengan cara yang tak pernah kita tahu. Jelas, di antara Partner in Pain bekerja sebuah kekuatan Maha Dasyat yang menjalin benang hubungan istimewa tak kasat mata; Dialah Tuhan. Itulah kenapa Jodoh jadi urusan Tuhan. Karena mereka yang telah ditakdirkan Tuhan bersama (Suami istri, ato ibu-anak ato ayah-anak atau anak-orang tua) adalah mereka yang telah diikat dengan benang istimewa tersebut. Mungkin begitulah Pi dan Richard Parker. Pi percaya betul, Tuhan bekerja dalam cerita mereka yang hebat itu.

Dalam agama yang saya anut, keberadaan Tuhan mampu dibuktikan oleh segala penciptaannya. Alam Semesta adalah bukti yang tak terbantahkan. Dan saya percaya itu. Tuhan adalah Dzat dibalik semua kehidupan ini,  bahkan segala kehidupan diluar jangkauan akal kita. Tapi satu hal lagi yang membuat saya mempercayai keberadaan Tuhan adalah tentang "hubungan" antar mahluk yang saya bilang diatas. Setelah jadi istri dan ibu, saya selalu dibuat kagum pada perasaan yang begitu kuat terhadap suami dan anak. Jika bukan kekuatan yang sangat amat besar, siapa lagi yang bisa menciptakan perasaan sekuat ibu pada anaknya?

Kita kenal yang namanya Cinta. Saya termasuk pengagum berat perasaan itu. Tapi kali ini, Cinta membuat saya jauh jauh lebih kagum lagi pada Tuhan. How You create something named LOVE, God? itu mungkin salah satu pertanyaan dari jutaan pertanyaan di kepala  yang ingin saya ajukan pada Tuhan kelak. Semoga bisa. Itu artinya saya harus menjadi Hamba-Nya yang baik dan kelak bisa berjumpa dengan-Nya.

For all the journey and thousand journeys forward, many many thank, Allah. Especially for the great partner in life, Nawla.

Enjoy the life, keep smile to God :)
12-12-12
(My Mother's birthday!!)

Saturday, November 24, 2012

Menulis Novel



Menulis. Kayaknya itu bakal jadi pilihan hidup. Setelah mengalami betapaaaa Uwow-nya jadi ibu, sepertinya profesi PENULIS adalah pilihan pekerjaan terbaik. Belom kerasa-kerasa banget sih bisa ngebulin dapur sendiri lewat nulis (selama ini honor nulis pake buat ngebulin dapur orang alias makan-makan di luar:p), tapi paling gak saya punya sesuatu yang dilakukan di luar profesi utama nan mulia (dan rempong) sebagai Ibu Rumah Tangga. Bukan karena pekerjaan Ibu Rumah Tangga terlalu ringan sehingga saya perlu pekerjaan sampingan lain, bukaaan! (bisa diadu ama presiden sibuk mana gue ama doi). Tapi, saya perlu media lain untuk menyalurkan bakat terpendam saya (telaaaah, kayak iye aja). Maksudnya hasrat terpendam mungkin lebih tepat.

Saya suka baca. Trus? ya udah, gitu aja.
Gak deng, maksudnya, saya kan suka baca, trutama bacaan fiksi, cerita-cerita romantis happy end gitulah. Tipikal Ibu Rumah Tangga minim waktu hiburan, jadi kalo baca yang ringan-ringan aja, hehe... Nah, berhub saya suka gak hemat kalo baca novel, semalem abis, semalem abis. Besoknya manyum, baca ulang novel bulan kemaren, gituuu muluuu. Soalnye, novel kagak murah juga kan ya? makanya kalo ada obral buku saya suka kalap, lebih kalap dari emak-emak yang nemu cabe sekilo serebu! Jadiii, saya pikir, pan gini-gini saya juga pernah lah ya nulis fiksi (seblumnya nulis yang serius mulu, ilmiah populerlah, artikel pertanianlah, kurang asik bener ya?), waktu kelas 4 SD *nyengir*. Jadi, kenapa gue gak nulis novel sendiri, lebih hemat, gak usah beli-beli, syukur2 best seller! (Ini bagian jiwa financial planner ibu RT yang komen. Gak perlu setuju).

Eeh badewey,  saya pernah nulis fiksi dengan serius loooh, waktu kelas 3 SMP. Saya sampe beli binder (anak kuliahan angkatan saya pasti kenal binder! anak sekarang mah udah pada nablet ya?), trus saya nulis cerpen. Pembaca setia saya (dan satu-satunya) adalah teman yang duduk di depan saya (namanya Elfa. Haaai Elfa, semoga lo baca!). Dia suka, itu bagus. Itu ukuran saya, soalnya yang lain pada agak mau baca (jangan tiru pengukuran ini!). Saya berhasil bikin 3 ato 4 cerpen kalo ga salah, dan 2 cerpan (cerita panjang, tapi gak panjang2 amat sih, tapi gak sependek cerpen jga sih.. apaan atuh ya?). Keren kan? (iya kali ya, kata lo!)

Nah, berbekal pengalaman berharga itu (bagaimanapun itu pengalaman, bukan?) saya memberanikan diri memasuki ranah fiksi. Berawal saat kuliah belajar nulis skenario, karena saya juga doyan banget ama film. Lalu kemudian waktu mengembleng (maaf agak lebay) saya dengan banyak hal selama 29 tahun ini (well, yeah, im that old!) saya lalu memberanikan diri menulis Novel! Yeaaaaaay! #kemudianhening

Alasannya, karena saya punya cerita (semoga ini emang CERITA yang layak diceritakan), trus hari gini gampang banget berinteraksi dengan penerbit, sarananya banyak, trutama saya dapet dari Twitter. Trus, fasilitas semacam Self Publising-pun mulai dikenal, alternatif banget buat penulis pemula macam saya. Akses terhadap informasi apapun jauuuh lebih mudah, sehingga kita bisa memperkaya cerita dan membuatnya spektakuler! Daaan, menulis buat saya kegiatan yang bisa membuat saya lebih sehat, secara batin. Itu yang penting.

Kenapa baru mulai sekarang? Yeee, udah bagus mo mulai! Untuk orang pemalas seperti saya, bisa memulai nulis novel dengan tulisan awal belasan halaman itu udah baguuus banget! *menghibur diri*

Cerita di novel pertama ini terinspirasi oleh banyak hal, terutama kehidupan saya pribadi. Dari banyak penulis saya selalu dapat tips, mulailah menulis tentang hal yang paling kamu ketahui. Nah, kenapa baru sekarang saya tulis? Ini semacam endapan dalam kepala, tunggu beberapa lama, biar endapan itu menebal dan bisa dikeluarkan. Saya sadar, cerita yang saya angkat saat ini mungkin tidak bisa saya tulis 5 tahun, atau bahkan setahun yang lalu. Ini semacam muara dari banyak kejadian yang saya alami, bukan hanya tentang apa yang saya dapat beberapa tahun belakang ini, tapi juga tentang masa kecil yang saya alami.

Ingat Pensieve-nya Harry Potter? tempat kita bisa memasuki kenangan orang lain dengan memasukkan kenangan berwarna perak. Nah, seperti itulah yang saya rasakan, seperti menarik perlahan kenangan-kenangan di dalam kepala dan menuangkan pada tulisan. Semua kenangan itu terangkai jadi sebuah pondasi cerita. Sebelum saya menuliskannya, cerita itu tergambar jelas di depan kepala, seperti masuk ke dalam Pensieve, lalu saya tinggal menuliskan semua itu.

Semudah itu? tentu saja TIDAK! memiliki WAKTU menulis yang intensif dan terjaga (mood dan nafas ceritanya) adalah hal yang susah-susah gampang bagi emak-emak macam saya. Lagi enak nulis, eeeh, anak bangun, trus menghalau semua kesunyian yang indah dengan ceriwisnya yang 'ya ampyuuum!'. Kalo malem pas anak tidur? Dikira seharian ngurus rumah dan anak, pas malem bisa segar bugar cenghar?? Ngantuklah!

Tapiii, ada kalanya inpirasi itu datang dari anak, pas nemenin dia main, atau pas lagi nyuci piring, ato pas lagi ngucek kolor, atao pas lagi beberes rumah, ato pas lagi nawar ikan kembung, dan lain-lain. Seringkali pas banget kita gak megang alat untuk nulis, jadi kudu dijaga baik-baik, kalo gak, saya tulis di HP. Intinya, dalam keseharian, saya bisa aja ngerjain banyak hal, tapi kepala tetap pada track novel yang lagi saya garap. Mungkin teknik macam ini yang sementara cukup efektif bagi saya dengan profesi utama Ibu RT.

Mengutip Dewi Lestari (saya suka karyanya), yang sangat percaya pada Konstelasi. Dalam hal ini juga saya percaya, bahwa ide ini tidak mengendap tanpa maksud dan keluar begitu saja tanpa tujuan. Ketika saya memutuskan untuk menuliskannya, ada takdir yang sedang dicatatkan, entah seperti apa. Karena setiap karya, seperti kata Dee, punya takdirnya masing-masing. Saya menulis tidak sendiri, saya sadar betul itu. Kalau Dewi Lestari menyebutnya dengan Sesuatu Di Alam Semesta -yang ia sendiripun tidak tau apa itu-, buat saya, itu adalah inspirasi dan inspirasi adalah semacam 'device' Tuhan Sang Dzat yang Maha di alam semesta ini.

Cara yang paling benar untuk saya dalam menulis adalah membiarkan inspirasi menemani kita sepanjang waktu dengan caraya sendiri, jangan pernah abaikan ia. Dan cara untuk mempertahan inspirasi untuk menemani kita -seperti yang (lagi2) banyak dikatakan penulis- adalah memurnikan hati. Hati yang positif dan ikhlas adalah tempat yang terbaik bagi inspirasi. Abstrak banget ya? saya juga sejujurnya bingung mo nulis apaan, hahaha. Pokoknya, menulislah dengan keyakinan bahwa kita ingin tulisan ini menjadi hal yang baik ketika orang lain membacanya. Soal laku gak laku itu soal lain, pokoknya nulis dulu, udah jadi baru promosi yang gencar!!

Sejujurnya agak aneh membicarakan hal yang belum ditulis, seperti yang selalu saya rasakan kalo ikut workshop menulis. Jadiii... ya nulis ;p

Udah dulu ah, belom mandi.

Mari, Inspy, kita mandi bareng! (Temen akrab gitu deh ama Inspirasi, ceritanyaa..)

Oya, jangan lupaaaa.... kalo Novel saya  jadi, beli yaaak! :D
*Dikeplak si Inspy, promo tuh kalo udah jadi!*

Ciao!

Wednesday, April 25, 2012

Hening

Sebenernya agak gak pede mo nulis soal ini. Tapi kenapa pula harus gak pede? kayak iye aja ni blog bakal dibaca sejagat raya ;p

Entah kapan awalnya, saya tertarik pada hal-hal yang bersifat kejiwaan. Mungkin sejak SMP, saat mulai sering baca buku psikologi di perpustakaan kabupaten. Bukan bacaan yang lazim buat anak remaja memang, tapi hal-hal yang berbau begituan (baca: psikologi) sangat menarik buat saya, entah kenapa.
Lalu mulailah saya membangun cita-cita sebagai psikolog.Tapi ada daya, tekad tidak cukup kuat, PMDK saya ynag keterima adalah di IPB dan saya tidak lolos seleksi psikologi Undip. Kalo mesti masuk swasta, gak mungkinlah, gak kepikir juga kuliah di kampus swasta, mana sanggup. Mo ikut UMPTN ke UI? tahu dirilah dengan otak cetek ini dan tekad yang masih lembek. Makanya pupuslah cita-cita jadi psikolog.

Lalu hidup mengalirlah, dengan hati yang terus resah, taelaaaah! merasa bahwa ilmu di IPB bukanlah yang menjadi dambaan hati. Mungkin juga karena otak cetek ini tidak sanggup mengunyah ilmu2 IPB yang canggih itu dengan baik. Tapi saya memiliki ketertarikan lain, lewat beberapa karya sastra yang saya baca. Saya penggila fiksi, doyan komik, novel dengan over dosis. Kampus membawa saya lebih jauh mengenal karya-karya tulis. Internet membuat obesesi terbesar hidup saya dapat sedikit terwujud: menjelajah dunia.

Saya berkenalan tidak hanya dengan ilmu di jurusan saya. Saya berkenalan dengan filsafat, ilmu sosial, ilmu2 dasar dan lain sebagainya. Mata saya membuka jauh lebih lebar daripada ketika saya SMA. Bisa dibilang saya adalah anak yang tidak pernah bisa nyaman di sekolah. Buat saya sekolah adalah tempat yang tidak asik, sekedar rutinitas biasa yang dilakukan seorang anak sebelum ia dewasa dan mengemban tugas berikutnya: bekerja. Tapi ketika saya di kampus, saat saya meenggelamkan diri di rak perpustakaan pojok yang berisi buku-buku dari seluruh dunia, yang justru tidak ada kaitannya secara langsung denganmateri-materi kuliah saya, saya menemukan banyak hal yang menarik. Saya terbuka akan kehidupan ini. Manusia, hidup, ilmu, jiwa, spiritulitas, menjadi hal yang begitu menarik buat saya. Saya menggilai filsafat, ilmu-ilmu kejiwaan, sejarah penemuan, para orang pintar jaman dulu dan sebagainya. Hampir mirip ketika saya SMP, hanya saat di kampus, akses saya jauh lebih terbuka. Bacaan fiksi saya mulai beralih ke Jostein Gaarder, Karen Amstrong, Dan Brown, dan karya-karya populer lainnya yang agak menyinggung-nyinggung soal filsafah, ilmu, sejarah dan lainnya. Bacaan saya rada meningkat, tidak hanya komik, chicklit dan Lupus (Lupuuuus!). Hingga membawa saya tertarik pada hal-hal yang lebih jauh lagi, sampai hari ini.

Singkat kata, saat ini saya mulai tertarik pada hal-hal apa ya namanya ini, pokoknya saya lagi doyan ama pola makan vegetarian, hal-hal yang natural dan alami (kayak miara tanaman, pengobatan herbal rumahan, dll), sangat merasa penting bgt pd keberadaan sinar matahari dan udara bebas (sesek kalo lama2 di AC) dan yang paling anyar, saya jadi doyan meditasi! Saya pada dasarnya emang nggak suka keramaian. Lebih nyaman di tempat-tempat dengan volume suara yang rendah. nyetel tipi juga gak enak kalo kenceng2 suaranya, malah saya jadi gak tralu doyan nonton tipi (apalagi rumahnya unyil banget gini, kedengeran banget kalo tipi nyala!). Nah, meditasi mengajarkan saya untuk meraih keheningan yang maksimal. Dan saya jadi kecanduan, hahahaha!

Setelah solat subuh adalah yang paling pas untuk meditasi. Kadang saya menjelang tidur dengerin video hipnoterapi juga. Topik mengenai kekuatan pikiran dan kebeningan hati jadi minat saya akhir-akhir ini. Mencoba menyelami diri sendiri ternyata asik juga. Saya sih belum sepenuhnya jago bermeditasi. Belum nemu apa-apa juga waktu meditasi, tapi setidakya itu membuat ke"sadar"an diri saya jadi agak meningkat. Saya mulai merasa ringan dalam menjalani hidup, beban materi terasa tidak seberat seblumnya. malah saya merasa agak menjauh pada hal-hal yang bersifat materi. Keinginan2 materiil mulai berkurang, berganti pada keinginan untuk hidup dengan lebih waspada, sadar akan peran diri untuk menjadi manusia yang baik secara fisik dan mental, bermanfaat untuk orang dan lebih peka pada lingkungan. Buat saya berada di alam terbuka jauh lebih baik ketimbang di mall atau dalam gedung mewah. Kalo ada lapangan hijau berumput untuk publik, mungkin saya bakalan doyan tidur siang dan meditasi di sana.

Kegemaran saya bermeditasi tidak kemudian membuat saya meragukan ajaran yang saya anut kok (Alhamdulillah..). Malah membuat saya semakin kuat mengimani Allah dan ajarannya. Jujur, saya memang agak terbuka dan respek pada ajaran2 Buddha tentang pemurnian jiwa dan ajaran-ajaran kebaikannya. Tapi buat saya, islam juga mengandung itu semua. Bedanya mungkin, Buddha mempercayai reinkarnasi sampai jiwa memenuhi syarat sempurna untuk mencapai nirwana. Islam menyampaikan soal alam barzah, hari perhitungan dan akhirat yang berisi surga dan neraka.Islam juga telah menulis dengan jelas aturan2 mainnya, apa yang dosa apa yang berpahalaan, dan semua akan dihitung dihari akhir.

Otak dan jiwa saya belum sanggup menggapai pemahaman tentang kehidupan setelah mati. Saya mempercayai adanya kehidupan stelah mati. Tapi manalah yang paling rasional? saya kira semua ajaran tidak ada yang bisa membuktikannya. Itu perlu iman. Dan saya mengimani ajaran saya, sehingga soal kehidupan setelah mati saya percaya oleh yang islam ajarkan. Tapi apapun, yang terjadi setelah kita mati, toh kehidupan di dunia ini sama pentingnya bukan? maka buat saya, pikirkanlah yang terbaik untuk kehidupan kita di dunia ini. Mencapai kemurnian jiwa bukan untuk kemudian menjadi orang suci anti dosa, tapi buat saya menjadi orang yang lebih "sadar". Sadar bahwa hidup itu hanya sementara, bahwa kematian itu niscaya dan tidak ada yang lebih baik untuk kita tinggalkan selain kebaikan.

Hidup dalam ketulusan, keikhlasan dan percaya sepenuhnya pada Tuhan sebagai kukuatan maha besar yang mengatur kehidupan ini, buat saya adalah jalan yang paling benar untuk melangkah di dunia ini. Dunia ini sudah terlalu penat, hal-hal materiil hanya membuat stress, hidup jadi hampa, jiwa jadi kosong. Hidup terlalu bingar, sehingga kita sulit mendengarkan kata hati, mendengarkan diri kita sendiri. Maka penting sekali untuk saya rutin mengecap keheningan di setiap hari.

Sholat pada konsepnya adalah juga merupakan sebuah proses meditasi. Kemampuan sholat khusuk akan memberikan sensasi yang mendalam bagi pemurnian jiwa. Inilah yang sedang saya upayakan. Meditasi lainnya adalah upaya untuk memingkatkan konsentrasi dengan lebih praktis, semoga bisa menolong saya untuk solat lebih khusu. Ini semua nyaman sekali; berhening mencari kebeningan.Terima kasih pada Allah atas petunjukNya.

Lakukanlah setiap hari. Diam, menyendiri, berdialog dengan diri sendiri, menemukan diri kita yang sejati untuk bisa hidup lebih berarti.

Selamat ber-hening.
 :)

Monday, March 12, 2012

Investasi Penting Dalam 15 Bulan

Bahasanya udah kayak ahli perencana keuangan aja! Etapi ini berdasarkan pengalaman belajar 3,5 tahun menjadi Ibu looh, hehe… Bahwa setiap perempuan yang dianugrahi kesempatan memiliki anak juga memiliki kesempatan emas untuk melakukan sebuah investasi penting bagi masa deoan si buah hati juga bagi kehidupan sang ibu.

Jadi begini (beneran kebawa ama judul nih gayanya!),
Saat dalam kandungan, janin kecil akan tumbuh dengan menyerap apapun yang Ibunya makan. Zat-zat terbaik dalam setiap makanan sang ibu akan mengalir kedalam tubuhnya, perlahan membentuk setiap sel, hingga sempurna di usia 9 bulan.
Lalu ketika bayi lahir, Tuhan telah menyiapkan tubuh sang Ibu untuk memproduksi ASI dengan segala keajaibannya sebagai makanan tunggal di 6 bulan pertama kehidupan bayi mungil itu. Proses yang hampir mirip saat dalam kandungan, bayi akan menyerap apapun makanan ibu melalui ASI. Semakin baik dan seimbang nutrisi sang ibu, makan semakin baik dan seimbang juga nutrisi dalam tubuh bayi.

Sembilan bulan tambah 6 bulan, total 15 bulan, seorang manusia baru akan memakan makanan yang “dimasak” oleh tubuh ibunya. Bayangkan, 15 bulan! Bukan waktu yang sebentar. Dalam 15 bulan bayi mungil kita mendapat saripati terbaik dari alam bagi tubuhnya melalui tubuh ibu. Sebuah bekal yang tidak ternilai, yang akan menjadi pondasi kesehatannya di masa depan. Inilah masa investasi itu!

Dari hasil menelaah banyak sumber plus masukan kanan kiri yang tak pernah berhenti, saya mendapat pencerahan bahwa memberi makan seorang bayi, sejak dalam kandungan hingga ia balita, bukan sekedar memenuhi nutrisinya, tapi juga membentuk kebiasaan makannya yang akan dibawa hingga ia dewasa.

Kebiasaan makan adalah salah satu faktor terpenting yang menentukan kesehatan seseorang. Kebiasaan makan yang sehat sejak dini akan berpeluang besar menciptakan manusia sehat di kemudian hari.

Jika mendengar kata investasi, kesannya ada modal besar yang harus dikeluarkan bukan? Benar! tapi modal bukan selalu berarti uang looh, tapi juga bisa berupa waktu dan perhatian.

Dan sekali lagi, kalo mendengar kata investasi kesannya di masa depan aka nada keuntungan berlipat yang kita dapat, bukan? Ini juga benar! keuntungannya bukan pundi-pundi uang kita yang menggendut, tapi harta yang jauh lebih berharga: kesehatan.

Makanan dengan gizi seimbang, kesannya butuh modal gede ya untuk itu? Etapi, jangan salah makan makanan sehat bukan makanan mahal. Itu dua hal yang sangat berbeda dan tidak berhubungan sama sekali! (langsung berubah dari ahli keuangan jadi ahli gizi)
Makanan sehat adalah berasal dari bahan-bahan alami yang segar, diolah dengan dengan baik tanpa merusak kandungan gizinya, lalu dikonsumsi dengan cara yang benar, agar gizinya terjaga sampai tubuh bisa menyerapnya.

15 bulan yang penting ini diawali dari masa kehamilan ibu. Bukan hal mudah memenuhi kebutuhan gizi ibu hamil. Apalagi di masa-masa awal kehamilan. Mual! Boro-boro makan yang bergizi, yang gak bergizi aja susah masuk! Hehehe..

Ujian menjadi ibu, memang di mulai sejak hari pertama kita mengandung. Bila nanti ketika anak sudah bisa makan makanan padat, kita akan disibukkan untuk memikirkan menu makannya, maka begitupun ketika hamil, kita juga (mestinya)sibuk memikirkan asupan gizi bagi sang jabang bayi.

Jangan menyerah pada mual, temukan cara agar kita bisa memasukkan makanan bergizi ke tubuh kita. Ketika kehilangan berat badan di bulan kedua kehamilan karena susah makan, saya diperingatkan keras oleh dokter. Ada seorang dokter yang saya kagumi, beliau bilang, langkah paling pertama untuk membentuk bayi yang sehat adalah sang Ibu harus bertekad sekuat mungkin untuk menjadi manusia yang sehat.

Begitupun dengan rasa bahagia. Anak yang bahagia adalah anak yang selalu merasa, melihat dan meyakini bahwa ibu yang mengandungnya, menyusuinya dan mengasuhnya penuh kasih adalah seorang ibu yang bahagia.

Dan, sekali lagi… sehat itu gak mahal kok! Obat memang mahal, makanya jangan sampe sakit. Mending sehat! Jauh lebih murah dari obat.

Buah, sayur dan air putih, adalah andalan saya untuk menjaga asupan gizi. Tidak mahal, paling tidak, pisang, papaya, semangka, bahkan buah kresen dari pohon depan rumahpun saya makan. Tempe tahu juga jadi andalan. Murah, mudah dan bergizi. Sayur lebih mudah lagi, rebus bayam, oyong, kangkung, wortel, labu dan sebagainya. Sesekali dijadikan cemilan dengan dicolek pada sambal.


Hasilnya, anak saya sekarang suka sekali buah-buahan, ngemil sayuran (tanpa sambal yah!), dan penggila tahu tempe dan kedelai rebus. Alhamdulillah daya tahan tubuhnya luar biasa, selain karena ASI selama 2,4 tahun, juga karena makannya yang jarang sekali bermasalah.

Pengalaman saya hamil dan menyusui juga mengurus makan anak saya secara langsung, benar-benar membuka mata saya akan pentingnya asupan selama 15 bulan pertama itu. Sebetulnya asupan di bulan-bulan berikutnya pun penting, selama anak kita masih menyusu. Tapi 15 bulan pertama itu,tubuh kita benar-benar menjadi penyedia tunggal asupan yang masuk ke tubuh sang bayi.

Keuntungan memperhatikan gizi selama 15 bulan itu bukan hanya dirasakan bayi, tapi juga kita sebagai ibu. Kita jelas lebih sehat, tapi selain itu, kita juga akan memiliki kebiasaan makan makanan sehat! Penelitian mengatakan perlu 3 bulan untuk membiasakan sebuah kebiaasaan baru dalam hidup. Kita punya 15 bulan untuk “dipaksa” hidup sehat dengan makan yang sehat. Tentunya kita aka nmenjadi pribadi baru yang lebih sehat. Sekaligus punya profesi baru sebagai ibu plus ahli gizi nomor satu di keluarga.

Dulu sebelum hamil, saya suka makan di luar dan kurang suka memasak di rumah. Tapi sekarang, makan di luar rasanya sangat mahal untuk sebuah makanan yang gizinya kurang terjamin, berapapun harga makan itu. Saya lebih baik goreng tempe tahu dan rebus bayam di rumah, lalu ngemil pepaya. Tetap nikmat, yang pasti, sehat!