Hendra berdiri mematung di
kotak yang membawanya meluncur ke lantai bawah. Lift di sabtu pagi, sepi. Iyalah! gerutu Hendra dalam hati. Hendra melangkahkan kakinya
keluar lift dengan malas. Yang lebih membuatnya malas sebenarnya adalah
misi yang diembannya pagi itu. Hendra sama sekali tidak tahu ke mana dan
bagaimana caranya untuk menuntaskan misi gila ini. Hendra terus berjalan menyeberangi
lobi yang juga sepi. Semua orang sependapat dengannya, pikir Hendra. Sabtu pagi
adalah jam tidur bagi sebagian besar warga Jakarta yang ngeburuh hampir tanpa jeda di sepanjang pekan.
Langkahnya tiba-tiba
terhenti. Dia. Berdiri di depan pintu
lobi sesosok mahluk yang beberapa minggu ini mengusik hati dan kepala Hendra.
Biasanya Hendra melihatnya dalam balutan setelan kantor, kali ini tidak.
Setelan Sabtu pagi; kaos merah dan celana training.
Kasual sekali, tapi tampak lebih segar. Hendra mulai mensyukuri pilihannya
turun di Sabtu pagi. Ini jelas kesempatan langka.
Entah bagaimana awalnya,
sekedar pertemuan singkat di lift, mungkin sebulan yang lalu, basa-basi khas penghuni
apartemen yang hari-ini-nyapa-besok-lupa. Tapi Hendra tidak pernah lupa, senyum
perempuan itu terlampau manis. Tak pernah ia tahu siapa nama perempuan itu, ia
hanya tahu nomor lantai yang ditekannya di lift. Dua lantai di atas lantai tempatnya tinggal. Lalu
pertemuan kembali terulang, beberapa kali di pagi hari, beberapa kali di malam
hari. Bagai roman picisan yang terlalu dramatis barangkali. Bahkan Hendra
sendiri tak percaya ia mengalami hal itu; menjadi seroang secret admirer. Hendra hampir tergelak membodohi diri sendiri yang
terjebak dalam cinta diam-diam. Tapi itulah yang terjadi, makin ia tertawakan
cinta terpendamnya, makin kuat rasa itu menggelayuti hatinya. Hari gini?? Pikirnya.
Entah ada apa dengan
perempuan itu. Bahkan ia tidak tahu apakah perempuan itu masih single atau tidak, straight atau tidak? Ya Tuhan!
Hidupnya seketika mengubahnya menjadi seorang Pungguk yang merindukan bulan. Berhari-hari
hingga mungkin genap sebulan ia menimbang-nimbang berbagai cara untuk bisa
berkenalan dengan perempuan itu. Tapi setiap kali akan dipraktekkan, luluh
semua rencana. Yang terealisasi hanya bagian
anggukan kepala dan senyum kecil saja. Rasanya memang agak canggung
ngajak kenalan gadis
di jam
lift padat
berdesak-desakan.
Perempuan itu masih berdiri
di luar pintu lobi. Hendra menghitung, hanya sekitar enam langkah darinya. Dia
buka pintu, maka pertemuan akan terjadi. Kali ini bisa berduaan saja. Sabtu
pagi, sepi!. Hendra memantapkan rencananya dengan mulai melangkah maju, tepat
dengan ayunan langkah perempuan itu. Jangan
pergi! Hendra mempercepat langkahnya mendobrak pintu lobi seperti akan
mengejar kekasih yang akan pergi untuk selamanya. Gadis itu tetap melangkah
pergi dengan langkahnya yang tenang. Sebenarnya bisa saja saja Hendra kejar dan
langsung mencegatnya, tapi lalu? Sungguh tidak lucu dan elegan. Rencana yang ia
susun di atas enam langkah, buyar sudah.
Lagi-lagi, ia belum
beruntung. Hendra hampir saja melupakan misi Sabtu paginya. Pohpohan!
Hendra tidak pernah menyetel
alarm di hari Sabtu dan Minggu. Tapi pagi itu, ia sontak bangun ketika
tiba-tiba wajahnya terasa basah dan lembab. Matanya berusaha keras membuka,
samar ia melihat sesosok bayangan di hadapannya dengan tangan kanan yang
terlecup dalam cangkir besar di tangan kiri.
“Ini udah jam berapa,
Hendra?! Pasti tadi gak solat subuh dulu,
geura?!”
Hendra mencoba
mengingat-ngingat siapa yang menyemprotkan kalimat itu, juga percikan air di wajahnya.
Oh, iya… Mamah!
“Ini Sabtu, Mamah… kan
libur…” Hendra masih berat untuk bangun.
“Tapi
subuhnya belom! Iya kan? Kalo sabtu emang boleh bolos solat gitu? Siapa yang ngebolehin?
Bos kamu? Emang dia yang kasih rejeki?”. Mamah terus memborbardir bujangnya.
“Ya iyalah, Mah.. kan dia
yang ngegaji..” Sedetik kemudian
Hendra menyesali jawaban konyolnya. Itu hanya memicu kalimat semprotan
berikutnya yang lebih tajam.
“Astagfirulloh, Hendraaaa!
Istigfar! Mau murtad kamu, teh? Udah
lupa sama Tuhan kamu? Hirup mapan di
kota, tapi jadi males solat..” Hendra memilih bangun cepat dan meluncur ke
kamar mandi. Jika ia masih tetap di kasurnya, bukan tidak mungkin ia akan
bernasib seperti Malin Kundang. Hanya ibunya yang bisa mengaitkan bangun siang
dengan murtad.
“Pohpohan?”
“Ituh, lalab! Nu jiga daun Kumis Ucing. Mang Endang aya kebonna di
Lebak.”(1) Ibunya
menyodorkan segelas kopi panas pada Hendra yang berhasil cuci muka dan gosok
gigi jam 7 pagi di hari Sabtu.
Hendra menyeruput kopinya
sambil berusaha keras membayangkan daun Pohpohan. Tidak terbayang sama sekali.
Cara satu-satunya adalah, ia ambil iPhone-nya. Google. Tak sampai 10 detik, ia perlihatkan deretan foto daun-daun
hijau segar pada ibunya.
“Tah, eta! Geuning aya fotona sagala? Ti mana?”(2)
---
Hendra memandang gambar
daun-daunan yang beberapa menit lalu ia perlihatkan pada Mamah. Titah Mamah
bagai titah dewa, bila tidak dilaksanakan Hendra tidak bisa membayangkan
akibatnya. Tapi yang sebenarnya adalah, karena ia sayang pada perempuan yang
melahirkannya itu. Rasa sederhana yang kerap ia lupakan, dan kembali
tersadarkan saat Mamah jatuh sakit minggu lalu. Mamah jatuh pingsan, dokter di
kotanya di Garut menduga ada serangan Jantung.
Mamah adalah perempuan kuat,
seorang petani sejati. Lebih dari 10 tahun menjanda, selama itu Mamah bekerja
keras dengan tangan dan kakinya sendiri. Lima anaknya berpencar keluar kampung,
Hendra adalah bungsu sekaligus satu-satunya anak laki-laki. Empat tetehnya sudah bekeluarga dan tak
satupun yang tinggal di Garut. Mamah tinggal sendiri, terkadang ditemani Teh Ucu, sepupu Hendra yang juga janda.
Membawa
Mamah ke Jakarta bukan perkara gampang. Apalagi dengan alasan berobat. Bagi Mamah, meninggalkan kambing, kebun singkong dan
sederet ‘bisnis’ pertaniannya adalah sesuatu yang teramat berat. Tapi akhirnya
Mamah bersedia ikut, dengan syarat Hendra harus lebih serius
cari istri dan menikah sebelum ulang tahunnya yang ke-30 Desember nanti. Dan
ini adalah bulan Juli. Baiklah. “Iya,
Mah.. Hendra janji akan serius cari istri, tapi tetep Alloh yang ngatur jodohnya kan? Doain aja ya Mah..” Jawaban diplomatis
yang mungkin telah dilontarkannya lebih dari 99 kali pada Mamah. Yang anehnya
selalu berhasil membuat negoisasi dengan Mamah jadi lebih lancar. Maka, dengan setengah terpaksa Mamah akhirnya
mau menginap di
kamar apartemen Hendra yang Mamah sebut kandang
japati(3); kecil, sempit, tinggi.
Permintaan Mamah pagi ini
sebetulnya sangat sederhana. Mamah ingin makan siang pakai lalap daun Pohpohan. Hendra tahu ibunya adalah
perempuan Sunda sejati yang sering tidak bisa makan tanpa lalapan dan Mamah tidak
suka makanan kota: istilah Mamah untuk pizza juga aneka fastfood. Juga kehidupan kota yang ramai
dan bingar. Mamah selalu bangga dengan prinsip ke-kampungan-nya. Tapi jangan tanya soal urusan pendidikan. Mamah
adalah perempuan yang akan berjuang sampai titik darah penghabisan untuk
menyekolahkan kelima anaknya. Empat kakak perempuan Hendra semuanya adalah
sarjana. Maka ketika Hendra berniat untuk melanjutkan sekolah ke Amerika. Mamah
adalah pendukung nomor satunya. Meskipun tahu Hendra mengusahakan beasiswa, Mamah
tetap bersikeras menjual setengah kebun Jati-nya untuk biaya Hendra selama di
Amerika. Almarhum Bapak yang menanam Jati-Jati itu, sejak Hendra belum lahir.
Sebatang demi sebatang, hingga punya setengah hektar. Itu tabungan Bapak untuk
anak-anak, nomor satu pakai untuk sekolah. Begitu kata Mamah menyampaikan
wasiat Bapak pada anak-anaknya.
Maka persoalan Pohpohan kali
ini, adalah perkara remeh sebetulnya. Tapi masalahnya adalah, Hendra tidak tahu
ke mana harus mencari daun Pohpohan di Jakarta pada Sabtu pagi begini.
Apartemennya terletak di salah satu kawan strategis komplek perkantoran di
selatan Jakarta, depannya jalan raya dan jalang layang. Apakah akan ada tukang
sayur lewat? Sungguh meragukan.
Tapi pertolongan segera
datang rupanya. Dari seorang satpam yang sejak tadi memperhatikan Hendra yang
kebingungan di teras luar apartemen.
“Laaah, itu dibelakang kan ada pasar,
Mas! Jawab Satpam menanggapi curhat Hendra yang panjang soal mencari tukang
sayur dan pasar.
“Di
Belakang? Belakang gedung ini? lewat mana, Pak??”
Hendra
tidak sempat menanyakan apa nama pasar ini. Ia terlalu takjub ada kehidupan
yang sedemikian ramai di hadapannya, setelah beberapa menit lalu ia merasakan
senyap yang kontras di lobi apartemennya. Tak sampai 10 menit jarak
apartemennya dengan pasar itu. Tapi ia baru tahu. Hidupnya di apartemen lebih
banyak ia habiskan di tempat tidur dan kamar mandi. Pergi jam tujuh pagi,
pulang menjelang tengah malam, begitu lima hari dalam seminggu. Sabtu Minggu
adalah hibernasi dan ia akan bangun lagi di Senin pagi. Mampir ke pasar dekat
rumah untuk mencari daun Pohpohan jelas tak pernah terpikir sekalipun olehnya.
Tapi
Hendra tidak terlalu antusias menikmati keramaian itu, ia punya misi yang jelas
dan ingin segera menyelesaikannya. Sebetulnya ‘main’ ke pasar adalah pengalaman
baru yang bisa menyegarkan, tapi kasur tetap jauh lebih menarik baginya.
Kecuali...
Deg!
jantung Hendra berdegup keras. Sesaat ia menangkap bayangan itu lagi. Si kaos
merah yang sempat mengusiknya di lobi. Hendra sontak mengikuti intuisinya untuk
bergerak lebih cepat ke arah kanan, tempat ia sekilas menangkap bayangan
perempuan itu. Perempuan cinta diam-diam-nya. Halah! Hendra merutuki dirinya yang tiba-tiba bisa
kehilangan nyali bila
bertemu perempuan itu. Tapi ia mempercepat langkahnya, misinya soal Pohpohan
seketika terlupa lagi.
Tepat
dihadapannya, sekitar tiga langkah darinya kini, sosok itu menjelma menjadi
seorang perempuan yang nyata. Berkaos merah dengan senyumnya yang manis
menerima uang kembalian dari tukang tempe. Di tangannya ada dua plastik bersisi
tempe tahu dan beberapa jenis buah-buahan. Mata Hendra menangkap detail
perempuan itu dengan baik, hingga perempuan itu kini menghadap ke arahnya.
Jantung Hendra berdegub jauh lebih kencang dari kapanpun. Ia langsung menghadap
ke sembarang arah menghindar bertatapan dengan perempuan itu. Sebagian dirinya
berharap perempuan itu tidak pernah sadar bahwa ia menguntitnya, sebagian lagi
berharap perempuan itu akan berjalan ke arahnya dan menyapa, “Hai, Tetangga! Kok bisa ketemu di sini?
Belanja bareng yuk?”. Terlalu muluk.
Hendra
tidak punya pilihan lain selain mengacak-acak tumpukan sayur dihadapannya,
menggabungkan diri dengan ibu-ibu berdaster yang memilih sayur dengan lebih
serius. Hendra tidak kenal satupun sayuran-sayuran hijau dihadapannya, ekor
matanya ketat memantau langkah si perempuan itu. Jantungnya makin berpacu
ketika perempuan itu benar-benar menghampirinya dan berdiri tepat disampingnya.
Dekat sekali, bahkan menempel! Mencari celah untuk ikut mencari sayuran. Hendra
menggeser badannya memberi ruang. Bulir-bulir keringat membasahi pelipisnya. Ia
sadar penampilannya pasti sangat tidak keren kali ini. Tangannya masih
mengenggam seikat daun yang ia ambil dengan asal untuk menutupi rasa deg-degan yang sesungguhnya tidak
disadari oleh satupun mahluk di pasar yang sibuk itu.
“Bang,
ada daun Pohpohan?” suara perempuan itu memecah semesta di kepala Hendra. Si
abang penjual yang sibuk celingukan mencari daun yang dimaksud, sampai
telunjuknya menujuk tepat ke muka Hendra.
“Itu
Neng, tinggal seiket kayaknya. Tapi
udah diambil si Bapak itu!”. Masih mengenggam seikat daun yang ditunjuk abang
penjual, Hendra sadar dialah yang di maksud “Si
Bapak itu”. Hendra langsung memandang daun yang digenggamnya tanpa sadar sedari
tadi. Entah konspirasi apa yang sedang dirancang semesta untuknya. Ditangannya
ternyata tergenggam seikat daun Pohpohan yang menjadi inti dari misi
penjelajalan pasar di Sabtu pagi-nya. Dan kini, daun itu bukan hanya menjadi
tokoh utama dalam titah sang Mamah, tapi mendadak menjadi tokoh utama dalam
kisah cinta diam-diamnya.
“Mau
dibeli ya Pohpohannya?” suara perempuan itu kini tertuju padanya. Sapaan itu
terjadi, meski dalam bentuk yang sama sekali berbeda dengan harapan muluknya
beberapa detik yang lalu. Hendra menggeleng, refleks. Entah kenapa. Sedetik
kemudian ia mengangguk. Lalu menggeleng lagi, lalu mengangguk lagi. Cinta
membuatnya mendadak sakit jiwa.
“Hmm, gimana ya? Sebetulnya saya emang
mau beli, tapi kamu juga mau ya?” kalimat perkenalan yang buruk sekali. Hendra
berkali kali merutuki dirinya dalam hati. Perempuan itu mengangguk dengan wajah
memelas yang samar. Jangankan seikat Pohpohan, satu kebunpun rela ia belikan
untuk perempuan idaman yang kini ada dihadapannya dengan peluang berkenalan 101
per 100. Tapi sayangnya, kini hanya ada seikat. Mengapa nasib baik nanggung
sekali sih, pikir Hendra.
Kasih saja, ia tinggal
bilang Mamah kalau ia gak bisa nemu Pohpohan dan ajak Mamah makan siang
di restoran Sunda, beres! Begitulah rencana yang digaungkan sebagian dirinya.
Tapi Mamah gak suka makan di
restoran, walaupun masakan Sunda, balas dirinya yang sebagian lain. Perempuan
itu menatapnya heran. Lelaki yang berdiri mematung dengan menggenggam seikat Pohpohan
di dada memang bukan pemandangan yang lazim.
“Ya sudah, gapapa kok Mas, ambil aja, kayaknya pengen banget..” Perempuan itu menyamarkan senyum gelinya. Manis
sekali, raung Hendra dalam hati. Tapi ia dengan cepat mengembalikan
kesadarannya.
“Eh, bukan buat saya
sebenernya.. Mamah yang pengen banget..” Hendra nyaris tak percaya dirinya bisa
begitu saja curhat. Senyum perempuan itu melebar.
“Ooooh, lagi ngidam yah? Ya sudah, buat istrinya aja..”
Hendra kelabakan, meski
badannya tetap berusaha tenang.
“Mmm.. Mamah! Ibu! Ibu saya
maksudnya! Saya masih single kok!”, Maksud lo??. Perempuan itu tertawa geli.
Manis sih, tapi Hendra sungguh tidak
berani menatapnya. Single?? Kenapa kata itu yang harus keluar?!
Tapi semua kebodohannya ternyata berbuah manis.
Terbukti saat ini ia tengah jalan berdua dengan perempuan idamannya itu. Ternyata
nasib baik tidak nanggung, ia hanya meminta Hendra untuk membagi dua seikat
Pohpohan itu sebagai jalan perkenalan yang diidam-idamkannya sejak lama.
“Beneran nih, nanti buat ibu kamu kurang?” Tanya Dewi saat mereka
tengah jalan bersama meninggalkan pasar. Namanya Dewi, cocok dengan wajah
manisnya. Hendra mengangguk yakin dengan senyum paling sumringah sedunia.
“Masa segini kurang?” kata Hendra
sambil memandang ikatan daun Pohpohan yang mengecil karena ia bagi dua dengan
Dewi.
“Eh, saya kalau makan bisa
habis seiket ini loh!” Dewi
merendengkan ikatan milikinya dengan milik Hendra.
Mata Hendra terbelalak.
Gadis manis ini lalap mania juga??
“Saya doyan banget Pohpohan! Anget,
wangi!” kata Dewi. Hendra menatap lekat daun itu, memastikan itu bukan jahe.
“Tapi emang susah dapetnya, di
pasar sini jarang ada.” Lanjut Dewi.
“Kamu sering ke pasar itu?”
Tanya Hendra.
“Hampir tiap pagi..” jawab
bibir mungilnya.
Hendra kembali terbelalak.
“Ngapain?” Pertanyaan bodoh.
“Ya belanja!” Jawaban telak.
Hendra berusaha
mengembalikan wibawanya yang sesungguhnya telah runtuh sejak pertemuan pertama
di tukang Pohpohan tadi.
“Ya, iya sih belanja.. tapi
sempat ya tiap pagi kamu belanja? Bukannya kamu pergi ngantor jam tujuh?” Wibawanya total gagal untuk kembali. Dewi menatapnya dengan mata yang bulat
sempurna. Hendra tahu, ia telah membuka aibnya sendiri.
“Kok tahu sih, saya berangkat ngantor jam tujuh?”
Mungkin pertemuan kali ini
cukup saling mengenal nama saja, pikir Hendra. Bila ia lanjutkan ngobrol, ia
khawatir Dewi akan langsung ilfeel
padanya.
Hendra memandang pintu Lift yang menutup dihadapannya. Senyuman
“Sampai Ketemu” Dewi masih tergambar jelas. Langkahnya terasa amat ringan
menuju pintu unitnya. Seikat kecil pohpohan berhasil ia bawa untuk sang Mamah
tercinta. Sekaligus sebuah nama yang ia incar sejak lama, Dewi… Ah! Senyum lebarnya
sepertinya tak akan surut seharian ini.
“Mamah kenal di mana?” Tanya
Hendra sambil membantu ibunya membereskan meja makan. Menata ikan asin, sambal,
kerupuk dan seikat daun Pohpohan keramat yang ditemani oleh beberapa buah timun
yang dibawa Mamah dari kampung.
“Ya di bawah, subuh-subuh
tadi. Dia lagi olah raga. Tuh, ari subuh
teh bangun, olah raga! Ulah males-malesan di kasur! Ke, nyak., Mamah jemput heula. Eta mun ngagolak pan ninyuhkeun enteh,
tah mamah ge nyandak saringanna!”(4). Hendra megangguk pelan.
Sebuah saringan teh kecil dan sebungkus teh kampung cap “Tilu Pucuk” adalah
bagian abadi perbekalan Mamah kalau keluar kampung.
Mamah keluar unit hendak ke
lobi. Mau menjemput kenalan yang tadi subuh ketemu di taman apartemen. Karena
tiap lantai pakai kartu akses yang berbeda, maka bila akan saling berkunjung
kita harus janjian di lobi. Tata krama kehidupan apartemen yang cukup repot menurut
Mamah.
Kenalan baru Mamah itu sama-sama
orang Sunda katanya. Mereka janjian makan siang bareng. Pantas aja Mamah ngotot
minta dicarikan Pohpohan. Ada kenalan baru! Hendra lupa menanyakan kenalan baru
Mamah itu laki-laki atau perempuan. Mungkinkah setelah 10 tahun lebih menjanda,
Mamah jatuh cinta lagi? Hendra menepis bayangan yang terlalu jauh itu. Ia yakin
pikirannya pasti terpengaruh oleh kisah cintanya yang sedang bersemi. Senyum
Hendra kembali melebar mengingat sejarah manis pagi itu.
Pintu unitnya dibuka ketika
Hendra baru saja selesai meracik teh pesanan Mamah. Mamah masuk bersama
seseorang yang seketika hampir membuat Hendra menumpahkan seteko teh panas yang
baru dibuatnya.
“Loh, Hendra??” suara bening
yang sama kembali meletupkan deyut jantung Hendra yang kini berdegup kencang
sekali.
Itu
Dewi.
-Pipit Dwia-
November, 2015
(1)
“Itu,
lalap! Yang seperti daun Kumis Kucing. Mang Endang punya kebunnya di Lebak
(Daerah lembah, atau daerah bawah dekat sungai).
(2)
“Iya,
itu!” Kok ada fotonya? Dari mana?”
(3)
Kandang
Merpati
(4)
“Ya
di bawah, subuh-subuh tadi. Dia lagi olah raga. Tuh, Kalau subuh itu bangun,
olah raga! Jangan malas-malasan di kasur. Sebentar yah, Mamah jemput dulu. Itu kalau (air) mendidih tolong seduhkan teh.
Itu Mamah bawa saringannya.”