Thursday, November 5, 2015

Daun-daun Ceribu



Ada sebuah rumah mungil yang sederhana, tapi terlihat sangat nyaman. Terutama bila kita memandangnya di tengah hari yang sangat terik. Mengapa? Karena ada sebatang pohon Kersen besar di samping rumah itu yang menaungi hampir seluruh halamannya yang tidak berpagar. Jadi, meski panas menyengat di tengah hari, halaman dan rumah mungil itu selalu terasa sejuk.

Pohon Kersen besar itu bernama Ceribu. Pohon kersen yang sangat disayangi oleh semua penghuni rumah mungil itu, terutama oleh si gadis kecil putri semata wayang sang pemilik rumah. Nauli nama gadis kecil itu. Dan Ceribu, adalah nama yang diberikan Nauli saat pohon Kersen itu ditanam di samping  rumahnya. Nauli dan Ceribu seperti dua sahabat yang saling menyayangi. Setiap pagi, sebelum rutinitas menyiram halamannya, Nauli selalu menyapa dan memeluk Ceribu.

“Selamat pagi, Ceribu. Apa kabar? Terima kasih untuk kesejukan pagi ini, juga untuk buah-buahmu. Sehat terus yah Ceribu sayang...”

Maka setiap pagi  juga, Ceribu selalu memberi hadiah luar biasa berupa buah-buah Kersen matang segar dan merona yang dijatuhkannya di atas rumput halaman.Nauli bilang, buah Ceribu adalah buah Kersen termanis di dunia! Di bawah Ceribu yang sejuk ada sebuah bangku kayu panjang lengkap dengan meja kayunya yang juga panjang. Ayah yang membuatnya untuk siapapun yang mau menikmati keteduhan pohon itu. Nauli dan teman-temannya sering belajar bersama di situ, juga Ibu dan beberapa Ibu lainnya sering bercengkrama di bangku kayu itu. Nauli ingat betul kata-kata Ayah saat membuat bangku itu dengan susah payah,

“Semakin banyak orang yang bisa menikmati halaman dan pohon ini, maka Tuhan akan selalu memberkahi pohon ini agar bisa sehat terus dan berbuah lebat untuk dinikmati siapapun!”

Lalu,  pada suatu hari, musim hujan tiba. Kemarau panjang yang terik untuk sementara digantikan oleh musim hujan yang sejuk namun penuh angin dan becek. Pada suatu subuh yang masih gelap, Nauli merasakan ada air di lantai kamarnya. Semalam hujan memang turun sangat deras dan baru berhenti menjelang subuh. Tak lama, terdengar suara cukup gaduh dari luar. Nauli berlari dan mendapati Ayah dan Ibu yang terkejut melihat lantai ruang tamu telah dibanjiri air setinggi mata kaki.Ternyata, kampung kecil tempat Nauli tinggal itu, kebanjiran.

Semua warga akhirnya bahu-membahu mengatasi banjir. Dan rupanya.. di ujung got besar saluran air, banyak ditemukan daun-daun dari pohon kersen. Dan karena jumlahnya sangat banyak, ditambah beberapa sampah plastik dan botol, daun-daun tersebut hampir menutupi ujung saluran air. Setelah saluran dibersihkan, barulah air dapat mengalir dengan lancar kembali dan banjir berangsur surut. Karena kejadian itu, beberapa warga mengusulkan agar Pohon kersen satu-satunya di Kampung itu yaitu Ceribu, ditebang. Nauli dan keluarganya sangat terkejut.

“Tidak boleh! Ceribu tidak boleh ditebang! Setiap pagi Ibu selalu menyapu halaman membersihkan daun-daun yang jatuh, bukan salah Ceribu bila daunnya berjatuhan..” teriak Nauli.

Ayah menenangkan Nauli. Ayah menjelaskan bahwa ia sangat mengerti bahwa pohon Kersen adalah pohon yang sangat mudah gugur daunnya. Setiap hari halaman rumah mereka memang selalu dipenuhi daun-daun kuning Ceribu. Dan ibu yang selalu menyapunya. Namun karena Ceribu semakin besar, dahannya kian bertambah dan memanjang hingga keluar halaman, ada daun-daun yang tak sengaja berjatuhan di atas selokan dan akhirnya ikut mengalir ke got yang besar dan menumpuk di ujung.

“Kalau begitu, mengapa kita tidak membersihkan got saja bersama-sama setiap hari? Aku mau ikut membersihkannya, Ayah! Aku mau mengambil daun-daun Ceribu yang jatuh ke selokan! Tapi aku mohon Ceribu jangan ditebang... nanti kita tidak bisa lagi duduk dengan teduh dan makan buah-buahnya lagi..” Nauli terus memohon pada Ayahnya.

Para warga yang melihat Nauli menangis dan memohon akhirnya ikut tersentuh. Mereka menyadari Ceribu bukan sekedar pohon. Ia adalah bagian dari kampung ini. Tempat siapapun bisa berteduh bila siang sedang terik. Tempat anak-anak di kampung itu belajar, bermain, memanjat pohonnya dan makan buahnya yang segar, manis dan tak pernah habis.

“Nauli benar, bukan Ceribu yang harus kita tebang, tapi kita yang harus rajin membersihkan saluran air dan lingkungan kita.” Tiba-tiba Pak RW mengeluarkan suaranya. Semuanya mengangguk-angguk membenarkan saran itu.

Nauli memeluk Ayah dan Ibu dengan lega.

“Aku juga sayang para tetangga semua! Karena kata Ayah, semakin banyak orang yang menikmati pohon kami, Tuhan akan semakin memberkahinya.. Terima kasih semuanya..!” Ujar Nauli.

Para warga sangat terharu.Mereka berjanji akan lebih kompak menjaga dan membersihkan lingkungan, terutamabila musim hujan datang.

Diluar, dihalaman rumah Nauli. Ceribu tergoyang pelan. Di balik rimbun daun dan lebat buahnya, Ceribu tersenyum bahagia. Tidak ada yang lebih membahagiakannya selain disayangi dan dijaga oleh para manusia disekelilingnya.

--- selesai ---




Pekerjaan Penting Pepe




Perkenalkan, namaku Pepe. Aku adalah seekor Tupai. Walaupun aku termasuk hewan yang mungil, tapi aku punya pekerjaan penting di sini! Nah, ku harap kau sedang duduk manis di tempat yang nyaman, karena aku akan menceritakan satu kisah penting yang membuatku punya pekerjaan penting. Dan mengapa kau harus mendengar cerita ini? Ssst.. nanti akan ku beri tahu!
Baiklah, aku  akan mulai ceritanya.

Ada sebuah tempat yang indah bernama Hutan Palolo di atas sebuah bukit.  Hutan ini kecil, maka jika kau melihat dari jauh di luar bukit, kau akanmelihat bukit ini seperti punya jambul berwarna hijau. Ya, itulah Hutan Palolo. Karena berada di puncak bukit, maka kami para penghuni hutan, harus turun bukit bila ingin mengambil air. Karena sungai terdekat hanyalah sungai kecil Lulubi yang berada di lembah. Perjalanan jauh menuju sungai, membuat beberapa penghuni hutan kesulitan untuk mengambilnya. Nah... di sinilah pekerjaan penting  yang aku maksud! Aku adalah si pengangkut air! Setiap hari aku bolak balik dari lembah ke bukit untuk mengangkut air dengan kantong-kantong air andalanku! Dan ternyata pelanggan setiaku makin banyak. Para Penghuni hutan ini rupanya sangat doyan minum dan main air! Mereka semua sangat mengandalkanku! Aku bangga sekali dengan pekerjaan  ini.

Hingga suatu hari...
Aku melihat air sungai berwarna cokelat pekat! Dandaerah kering pinggiran sungai semakin lebar, yang  artinya, air sungai sedang menyusut. Beberapa bulan ini sungai memang cepat menyusut, sepertinya karena kemarau panjang yangmelandaDan di hari itu aku melihat air sangat menyusut dan kotor sekali! Alirannya membawa sampah-sampah entah dari mana. Aku tak tega mengisi kantong airku, pasti rasa airnya sudah tidak enak untuk diminum. Akhirnya aku pulang dengan kantong kosong dan hati yang kecewa.
Seluruh penghuni hutan berkumpul dengan wajah cemas saat aku bercerita tentang  keadaaan sungai Lulubi. Akupun, cemas bukan kepalang.
“Kita harus mencari sungai yang lain..” Kata Lambo, si Rusa betina yang cantik. “Aku harus mandi 5 kali sehari! Agar tetap segar dan cantik!”
“Benar.. di manakah sungai terdekat selain Lulubi yah?” GumamBoris beruang berbadan besar. “Aku harus minum 10 kantong setiap aku fitnes!” Raungnya murung.

Semua binatang tertunduk sedih dan bingung. Aku juga. Bagaimana cara mencari sungai?
Aha! Kenapa aku tidak memanjat ke ujung Paloloja? Paloloja adalah pohon jati tertinggi di hutan ini, sekaligus tertua. Akarnya yang menyembul ke atas tanah bisa sebesar 3 Boris yang berjejer. Dan untuk memeluk batangnya, mungkin perlu 20 hewan saling berpegangan tangan. Paloloja besar dan tinggi sekali. Juga galak. Duh!Maka, dengan sangat hati-hati aku menjelaskan masalah ini dan meminta ijin pada Paloloja untuk memanjatnya hingga ujung. Paloloja tidak menjawab, hanya berdehem. Lalu kulihat salah satu batangnya mengayun ke bawah untuk mempersilakan aku naik. Wah, ternyata Paloloja tidak segalak yang selama ini kita pikirkan!
Akhirnya aku naik sampai ujung atas Paloloja. Pamandangannya sungguh indah luar biasa! Dunia itu luas sekali, Kawan! Rasanya aku ingin bertualang! Ups! aku hampir lupa pada tujuan utamaku mencari aliran sungai lain. Aku lemparkan pandangan ke sekeliling lembah, tapi.. tak ada tanda-tanda aliran sungai lain selain Lulubi yang dari kejauhanpun terlihat bernarna cokelat pekat.
Tiba-tiba aku mendengar suara berdehem tebal yang lebih kencang..
“EHEM.. PEPE...”
Aku terkejut. Bulu-buluku sepertinya berdiri semua. Itu.. itu Paloloja yang berbicara! “I..i..iyaa.. Paloloja?”
“TAK PERLU KAU MENCARI AIR DARI TEMPAT TERTINGGI, JUSTRU DI BAWAH SANA AIR MENGALIR...”
Aku terkejut luar biasa.“Di bawah? Bawah mana, Paloloja?” tanyaku hati-hati.
“DI UJUNG AKAR TUNGGANGKU YANG MENUKIK KE DALAM TANAH.”
Mataku membulat lebar. Ya ampun! Tentu saja!  pikirku. Air bawah tanah! 
“Terima kasih untuk informasinya Paloloja! Aku akan menggali tanah untuk mencari air!” Aku langsung melompat turun.
Tapi tiba-tiba2, sebuah dahan besar menarikku kembali ke atas.
“TIDAK SEMUDAH ITU, TUPAI KECIL!”
Badanku langsung gemetar. “Ma..maksudmu apa ya Paloloja..?” Aku makin gemetar.
“KAU HARUS BERJANJI SATU HAL PADAKU, BILA TIDAK.. AKU TAK AKAN MEMBIARKANMU TURUN DARI ATAS SINI!”
Rasanya perutku melilit sekali mendengar ancaman itu.. “Jan..janji apa itu Paloloja..?” Mulutku juga gemetar.
“BERJANJILAH UNTUK TIDAK MENGGUNAKAN AIR TANAH DENGAN SEENAKNYA! PERGUNAKAN SESUAI DENGAN YANG KAU PERLUKAN. KARENA BILA KAU BOROS, KELAK TAK AKANADA LAGI AIR UNTUK KALIAN HIDUP! DAN BILA ITU TERJADI... AKU TAK AKAN PERNAH MEMBANTU LAGI, BAHKAN.. MUNGKIN AKU AKAN MENGUSIR KALIAN PERGI DARI HUTAN PALOLO INI!”
Aku sungguh gemeteran, tapi aku langsung mengangguk cepat! “Baik Paloloja! Aku berjanji akan menggunakan air itu dengan sebaik mungkin!”
“BUKAN KAMU SAJA!”
“Oh! Iya..iyaa.. Paloloja! Aku akan memberitahu seluruh penghuni hutan ini! Aku janji Paloloja!”

Singkat cerita... Aku bersama sekelompok penghuni hutan dipimpin oleh Baruba si tikus tanah, berhasil menyelesaikan proyek penggalian sumur hutan. Kini kami dapat mengambil air dengan lebih mudah! Tapi.. sesuai janji kami pada Paloloja, kami tidak lagi menghambur-hambur air dengan boros. Kami tidak mau lagi kesulitan air! Maka kami akan menjaga sumur ini dengan sebaik mungkin. Dan aku? Yaa.. aku memang kehilangan pekerjaan pentingku sebagai pengangkut air handal. Tapi kini aku punya pekerjaan penting lain! Yaitu, menjaga sumur dan berpatroli mengingatkan siapapununtuk hemat air. Termasuk mengingatkanmu, Kawan! Kini kau tahu mengapa aku menceritakan kisah ini padamu, bukan? Sungguh.. ini pekerjaan yang tidak mudah,karena masih banyak yang bandel dan tidak percaya kalau Paloloja pernah berbicara padaku tentang hemat air. Tapi aku tahu ini penting! Dan aku suka pekerjaan penting!

--- selesai ---




Cinta Dalam Seikat Pohpohan


Filea Trinervia - Pohpohan

Hendra berdiri mematung di kotak yang membawanya meluncur ke lantai bawah. Lift di sabtu pagi, sepi. Iyalah! gerutu Hendra dalam hati. Hendra melangkahkan kakinya keluar lift dengan malas. Yang lebih membuatnya malas sebenarnya adalah misi yang diembannya pagi itu. Hendra sama sekali tidak tahu ke mana dan bagaimana caranya untuk menuntaskan misi gila ini. Hendra terus berjalan menyeberangi lobi yang juga sepi. Semua orang sependapat dengannya, pikir Hendra. Sabtu pagi adalah jam tidur bagi sebagian besar warga Jakarta yang ngeburuh hampir tanpa jeda di sepanjang pekan.
Langkahnya tiba-tiba terhenti. Dia. Berdiri di depan pintu lobi sesosok mahluk yang beberapa minggu ini mengusik hati dan kepala Hendra. Biasanya Hendra melihatnya dalam balutan setelan kantor, kali ini tidak. Setelan Sabtu pagi; kaos merah dan celana training. Kasual sekali, tapi tampak lebih segar. Hendra mulai mensyukuri pilihannya turun di Sabtu pagi. Ini jelas kesempatan langka.
Entah bagaimana awalnya, sekedar pertemuan singkat di lift, mungkin sebulan yang lalu, basa-basi khas penghuni apartemen yang hari-ini-nyapa-besok-lupa. Tapi Hendra tidak pernah lupa, senyum perempuan itu terlampau manis. Tak pernah ia tahu siapa nama perempuan itu, ia hanya tahu nomor lantai yang ditekannya di lift. Dua lantai di atas lantai tempatnya tinggal. Lalu pertemuan kembali terulang, beberapa kali di pagi hari, beberapa kali di malam hari. Bagai roman picisan yang terlalu dramatis barangkali. Bahkan Hendra sendiri tak percaya ia mengalami hal itu; menjadi seroang secret admirer. Hendra hampir tergelak membodohi diri sendiri yang terjebak dalam cinta diam-diam. Tapi itulah yang terjadi, makin ia tertawakan cinta terpendamnya, makin kuat rasa itu menggelayuti hatinya. Hari gini?? Pikirnya.
Entah ada apa dengan perempuan itu. Bahkan ia tidak tahu apakah perempuan itu masih single atau tidak, straight atau tidak? Ya Tuhan! Hidupnya seketika mengubahnya menjadi seorang Pungguk yang merindukan bulan. Berhari-hari hingga mungkin genap sebulan ia menimbang-nimbang berbagai cara untuk bisa berkenalan dengan perempuan itu. Tapi setiap kali akan dipraktekkan, luluh semua rencana. Yang terealisasi  hanya bagian anggukan kepala dan senyum kecil saja. Rasanya memang agak canggung ngajak kenalan gadis di jam lift padat berdesak-desakan.
Perempuan itu masih berdiri di luar pintu lobi. Hendra menghitung, hanya sekitar enam langkah darinya. Dia buka pintu, maka pertemuan akan terjadi. Kali ini bisa berduaan saja. Sabtu pagi, sepi!. Hendra memantapkan rencananya dengan mulai melangkah maju, tepat dengan ayunan langkah perempuan itu. Jangan pergi! Hendra mempercepat langkahnya mendobrak pintu lobi seperti akan mengejar kekasih yang akan pergi untuk selamanya. Gadis itu tetap melangkah pergi dengan langkahnya yang tenang. Sebenarnya bisa saja saja Hendra kejar dan langsung mencegatnya, tapi lalu? Sungguh tidak lucu dan elegan. Rencana yang ia susun di atas enam langkah, buyar sudah.
Lagi-lagi, ia belum beruntung. Hendra hampir saja melupakan misi Sabtu paginya. Pohpohan!
Hendra tidak pernah menyetel alarm di hari Sabtu dan Minggu. Tapi pagi itu, ia sontak bangun ketika tiba-tiba wajahnya terasa basah dan lembab. Matanya berusaha keras membuka, samar ia melihat sesosok bayangan di hadapannya dengan tangan kanan yang terlecup dalam cangkir besar di tangan kiri.
“Ini udah jam berapa, Hendra?! Pasti tadi gak solat subuh dulu, geura?!”
Hendra mencoba mengingat-ngingat siapa yang menyemprotkan kalimat itu, juga percikan air di wajahnya. Oh, iya… Mamah!
“Ini Sabtu, Mamah… kan libur… Hendra masih berat untuk bangun.
Tapi subuhnya belom! Iya kan? Kalo sabtu emang boleh bolos solat gitu? Siapa yang ngebolehin? Bos kamu? Emang dia yang kasih rejeki?”. Mamah terus memborbardir bujangnya.
“Ya iyalah, Mah.. kan dia yang ngegaji..” Sedetik kemudian Hendra menyesali jawaban konyolnya. Itu hanya memicu kalimat semprotan berikutnya yang lebih tajam.
Astagfirulloh,  Hendraaaa! Istigfar! Mau murtad kamu, teh? Udah lupa sama Tuhan kamu? Hirup mapan di kota, tapi jadi males solat..” Hendra memilih bangun cepat dan meluncur ke kamar mandi. Jika ia masih tetap di kasurnya, bukan tidak mungkin ia akan bernasib seperti Malin Kundang. Hanya ibunya yang bisa mengaitkan bangun siang dengan murtad.
“Pohpohan?”
“Ituh, lalab! Nu jiga daun Kumis Ucing. Mang Endang aya kebonna di Lebak.”(1) Ibunya menyodorkan segelas kopi panas pada Hendra yang berhasil cuci muka dan gosok gigi jam 7 pagi di hari Sabtu.
Hendra menyeruput kopinya sambil berusaha keras membayangkan daun Pohpohan. Tidak terbayang sama sekali. Cara satu-satunya adalah, ia ambil iPhone-nya. Google. Tak sampai 10 detik, ia perlihatkan deretan foto daun-daun hijau segar pada ibunya.
“Tah, eta! Geuning aya fotona sagala? Ti mana?”(2)
---
Hendra memandang gambar daun-daunan yang beberapa menit lalu ia perlihatkan pada Mamah. Titah Mamah bagai titah dewa, bila tidak dilaksanakan Hendra tidak bisa membayangkan akibatnya. Tapi yang sebenarnya adalah, karena ia sayang pada perempuan yang melahirkannya itu. Rasa sederhana yang kerap ia lupakan, dan kembali tersadarkan saat Mamah jatuh sakit minggu lalu. Mamah jatuh pingsan, dokter di kotanya di Garut menduga ada serangan Jantung.
Mamah adalah perempuan kuat, seorang petani sejati. Lebih dari 10 tahun menjanda, selama itu Mamah bekerja keras dengan tangan dan kakinya sendiri. Lima anaknya berpencar keluar kampung, Hendra adalah bungsu sekaligus satu-satunya anak laki-laki. Empat tetehnya sudah bekeluarga dan tak satupun yang tinggal di Garut. Mamah tinggal sendiri, terkadang ditemani Teh Ucu, sepupu Hendra yang juga janda.
Membawa Mamah ke Jakarta bukan perkara gampang. Apalagi dengan alasan berobat. Bagi Mamah, meninggalkan kambing, kebun singkong dan sederet ‘bisnis’ pertaniannya adalah sesuatu yang teramat berat. Tapi akhirnya Mamah bersedia ikut, dengan syarat Hendra harus lebih serius cari istri dan menikah sebelum ulang tahunnya yang ke-30 Desember nanti. Dan ini adalah bulan Juli. Baiklah. “Iya, Mah.. Hendra janji akan serius cari istri, tapi tetep Alloh yang ngatur jodohnya kan? Doain aja ya Mah..” Jawaban diplomatis yang mungkin telah dilontarkannya lebih dari 99 kali pada Mamah. Yang anehnya selalu berhasil membuat negoisasi dengan Mamah jadi lebih lancar. Maka, dengan setengah terpaksa Mamah akhirnya mau menginap di kamar apartemen Hendra yang Mamah sebut kandang japati(3); kecil, sempit, tinggi.
Permintaan Mamah pagi ini sebetulnya sangat sederhana. Mamah ingin makan siang pakai lalap daun Pohpohan. Hendra tahu ibunya adalah perempuan Sunda sejati yang sering tidak bisa makan tanpa lalapan dan Mamah tidak suka makanan kota: istilah Mamah untuk pizza juga aneka fastfood. Juga kehidupan kota yang ramai dan bingar. Mamah selalu bangga dengan prinsip ke-kampungan-nya. Tapi jangan tanya soal urusan pendidikan. Mamah adalah perempuan yang akan berjuang sampai titik darah penghabisan untuk menyekolahkan kelima anaknya. Empat kakak perempuan Hendra semuanya adalah sarjana. Maka ketika Hendra berniat untuk melanjutkan sekolah ke Amerika. Mamah adalah pendukung nomor satunya. Meskipun tahu Hendra mengusahakan beasiswa, Mamah tetap bersikeras menjual setengah kebun Jati-nya untuk biaya Hendra selama di Amerika. Almarhum Bapak yang menanam Jati-Jati itu, sejak Hendra belum lahir. Sebatang demi sebatang, hingga punya setengah hektar. Itu tabungan Bapak untuk anak-anak, nomor satu pakai untuk sekolah. Begitu kata Mamah menyampaikan wasiat Bapak pada anak-anaknya.
Maka persoalan Pohpohan kali ini, adalah perkara remeh sebetulnya. Tapi masalahnya adalah, Hendra tidak tahu ke mana harus mencari daun Pohpohan di Jakarta pada Sabtu pagi begini. Apartemennya terletak di salah satu kawan strategis komplek perkantoran di selatan Jakarta, depannya jalan raya dan jalang layang. Apakah akan ada tukang sayur lewat? Sungguh meragukan.
Tapi pertolongan segera datang rupanya. Dari seorang satpam yang sejak tadi memperhatikan Hendra yang kebingungan di teras luar apartemen.
            “Laaah, itu dibelakang kan ada pasar, Mas! Jawab Satpam menanggapi curhat Hendra yang panjang soal mencari tukang sayur dan pasar.
            “Di Belakang? Belakang gedung ini? lewat mana, Pak??”
            Hendra tidak sempat menanyakan apa nama pasar ini. Ia terlalu takjub ada kehidupan yang sedemikian ramai di hadapannya, setelah beberapa menit lalu ia merasakan senyap yang kontras di lobi apartemennya. Tak sampai 10 menit jarak apartemennya dengan pasar itu. Tapi ia baru tahu. Hidupnya di apartemen lebih banyak ia habiskan di tempat tidur dan kamar mandi. Pergi jam tujuh pagi, pulang menjelang tengah malam, begitu lima hari dalam seminggu. Sabtu Minggu adalah hibernasi dan ia akan bangun lagi di Senin pagi. Mampir ke pasar dekat rumah untuk mencari daun Pohpohan jelas tak pernah terpikir sekalipun olehnya.
            Tapi Hendra tidak terlalu antusias menikmati keramaian itu, ia punya misi yang jelas dan ingin segera menyelesaikannya. Sebetulnya ‘main’ ke pasar adalah pengalaman baru yang bisa menyegarkan, tapi kasur tetap jauh lebih menarik baginya. Kecuali... Deg! jantung Hendra berdegup keras. Sesaat ia menangkap bayangan itu lagi. Si kaos merah yang sempat mengusiknya di lobi. Hendra sontak mengikuti intuisinya untuk bergerak lebih cepat ke arah kanan, tempat ia sekilas menangkap bayangan perempuan itu. Perempuan cinta diam-diam-nya. Halah! Hendra merutuki dirinya yang tiba-tiba bisa kehilangan nyali bila bertemu perempuan itu. Tapi ia mempercepat langkahnya, misinya soal Pohpohan seketika terlupa lagi.
            Tepat dihadapannya, sekitar tiga langkah darinya kini, sosok itu menjelma menjadi seorang perempuan yang nyata. Berkaos merah dengan senyumnya yang manis menerima uang kembalian dari tukang tempe. Di tangannya ada dua plastik bersisi tempe tahu dan beberapa jenis buah-buahan. Mata Hendra menangkap detail perempuan itu dengan baik, hingga perempuan itu kini menghadap ke arahnya. Jantung Hendra berdegub jauh lebih kencang dari kapanpun. Ia langsung menghadap ke sembarang arah menghindar bertatapan dengan perempuan itu. Sebagian dirinya berharap perempuan itu tidak pernah sadar bahwa ia menguntitnya, sebagian lagi berharap perempuan itu akan berjalan ke arahnya dan menyapa, “Hai, Tetangga! Kok bisa ketemu di sini? Belanja bareng yuk?”. Terlalu muluk.
            Hendra tidak punya pilihan lain selain mengacak-acak tumpukan sayur dihadapannya, menggabungkan diri dengan ibu-ibu berdaster yang memilih sayur dengan lebih serius. Hendra tidak kenal satupun sayuran-sayuran hijau dihadapannya, ekor matanya ketat memantau langkah si perempuan itu. Jantungnya makin berpacu ketika perempuan itu benar-benar menghampirinya dan berdiri tepat disampingnya. Dekat sekali, bahkan menempel! Mencari celah untuk ikut mencari sayuran. Hendra menggeser badannya memberi ruang. Bulir-bulir keringat membasahi pelipisnya. Ia sadar penampilannya pasti sangat tidak keren kali ini. Tangannya masih mengenggam seikat daun yang ia ambil dengan asal untuk menutupi rasa deg-degan yang sesungguhnya tidak disadari oleh satupun mahluk di pasar yang sibuk itu.
            “Bang, ada daun Pohpohan?” suara perempuan itu memecah semesta di kepala Hendra. Si abang penjual yang sibuk celingukan  mencari daun yang dimaksud, sampai telunjuknya menujuk tepat ke muka Hendra.
            “Itu Neng, tinggal seiket kayaknya. Tapi udah diambil si Bapak itu!”. Masih mengenggam seikat daun yang ditunjuk abang penjual, Hendra sadar dialah yang di maksud “Si Bapak itu”. Hendra langsung memandang daun yang digenggamnya tanpa sadar sedari tadi. Entah konspirasi apa yang sedang dirancang semesta untuknya. Ditangannya ternyata tergenggam seikat daun Pohpohan yang menjadi inti dari misi penjelajalan pasar di Sabtu pagi-nya. Dan kini, daun itu bukan hanya menjadi tokoh utama dalam titah sang Mamah, tapi mendadak menjadi tokoh utama dalam kisah cinta diam-diamnya.
            “Mau dibeli ya Pohpohannya?” suara perempuan itu kini tertuju padanya. Sapaan itu terjadi, meski dalam bentuk yang sama sekali berbeda dengan harapan muluknya beberapa detik yang lalu. Hendra menggeleng, refleks. Entah kenapa. Sedetik kemudian ia mengangguk. Lalu menggeleng lagi, lalu mengangguk lagi. Cinta membuatnya mendadak sakit jiwa.
“Hmm, gimana ya? Sebetulnya saya emang mau beli, tapi kamu juga mau ya?” kalimat perkenalan yang buruk sekali. Hendra berkali kali merutuki dirinya dalam hati. Perempuan itu mengangguk dengan wajah memelas yang samar. Jangankan seikat Pohpohan, satu kebunpun rela ia belikan untuk perempuan idaman yang kini ada dihadapannya dengan peluang berkenalan 101 per 100. Tapi sayangnya, kini hanya ada seikat. Mengapa nasib baik nanggung sekali sih, pikir Hendra.
Kasih saja, ia tinggal bilang Mamah kalau ia gak bisa nemu Pohpohan dan ajak Mamah makan siang di restoran Sunda, beres! Begitulah rencana yang digaungkan sebagian dirinya. Tapi Mamah gak suka makan di restoran, walaupun masakan Sunda, balas dirinya yang sebagian lain. Perempuan itu menatapnya heran. Lelaki yang berdiri mematung dengan menggenggam seikat Pohpohan di dada memang bukan pemandangan yang lazim.
“Ya sudah, gapapa kok Mas, ambil aja, kayaknya pengen banget..” Perempuan itu menyamarkan senyum gelinya. Manis sekali, raung Hendra dalam hati. Tapi ia dengan cepat mengembalikan kesadarannya.
“Eh, bukan buat saya sebenernya.. Mamah yang pengen banget..” Hendra nyaris tak percaya dirinya bisa begitu saja curhat. Senyum perempuan itu melebar.
“Ooooh, lagi  ngidam yah? Ya sudah, buat istrinya aja..”
Hendra kelabakan, meski badannya tetap berusaha tenang.
“Mmm.. Mamah! Ibu! Ibu saya maksudnya! Saya masih single kok!”, Maksud lo??. Perempuan itu tertawa geli. Manis sih, tapi Hendra sungguh tidak berani menatapnya. Single?? Kenapa kata itu yang harus keluar?!
Tapi  semua kebodohannya ternyata berbuah manis. Terbukti saat ini ia tengah jalan berdua dengan perempuan idamannya itu. Ternyata nasib baik tidak nanggung, ia hanya meminta Hendra untuk membagi dua seikat Pohpohan itu sebagai jalan perkenalan yang diidam-idamkannya sejak lama.
Beneran nih, nanti buat ibu kamu kurang?” Tanya Dewi saat mereka tengah jalan bersama meninggalkan pasar. Namanya Dewi, cocok dengan wajah manisnya. Hendra mengangguk yakin dengan senyum paling sumringah sedunia.
“Masa segini kurang?” kata Hendra sambil memandang ikatan daun Pohpohan yang mengecil karena ia bagi dua dengan Dewi.
“Eh, saya kalau makan bisa habis seiket ini loh!” Dewi merendengkan ikatan milikinya dengan milik Hendra.
Mata Hendra terbelalak. Gadis manis ini lalap mania juga??
“Saya doyan banget Pohpohan! Anget, wangi!” kata Dewi. Hendra menatap lekat daun itu, memastikan itu bukan jahe.
“Tapi emang susah dapetnya, di pasar sini jarang ada.” Lanjut Dewi.
“Kamu sering ke pasar itu?” Tanya Hendra.
“Hampir tiap pagi..” jawab bibir mungilnya.
Hendra kembali terbelalak. “Ngapain?” Pertanyaan bodoh.
“Ya belanja!” Jawaban telak.
Hendra berusaha mengembalikan wibawanya yang sesungguhnya telah runtuh sejak pertemuan pertama di tukang Pohpohan tadi.
“Ya, iya sih belanja.. tapi sempat ya tiap pagi kamu belanja? Bukannya kamu pergi ngantor jam tujuh?” Wibawanya total gagal untuk kembali. Dewi menatapnya dengan mata yang bulat sempurna. Hendra tahu, ia telah membuka aibnya sendiri.
“Kok tahu sih, saya berangkat ngantor jam tujuh?”
Mungkin pertemuan kali ini cukup saling mengenal nama saja, pikir Hendra. Bila ia lanjutkan ngobrol, ia khawatir Dewi akan langsung ilfeel padanya.
Hendra memandang pintu Lift yang menutup dihadapannya. Senyuman “Sampai Ketemu” Dewi masih tergambar jelas. Langkahnya terasa amat ringan menuju pintu unitnya. Seikat kecil pohpohan berhasil ia bawa untuk sang Mamah tercinta. Sekaligus sebuah nama yang ia incar sejak lama, Dewi… Ah!  Senyum lebarnya sepertinya tak akan surut seharian ini.
“Mamah kenal di mana?” Tanya Hendra sambil membantu ibunya membereskan meja makan. Menata ikan asin, sambal, kerupuk dan seikat daun Pohpohan keramat yang ditemani oleh beberapa buah timun yang dibawa Mamah dari kampung.
“Ya di bawah, subuh-subuh tadi. Dia lagi olah raga. Tuh, ari subuh teh bangun, olah raga! Ulah males-malesan di kasur! Ke, nyak., Mamah jemput heula. Eta mun ngagolak pan ninyuhkeun enteh, tah mamah ge nyandak saringanna!(4). Hendra megangguk pelan. Sebuah saringan teh kecil dan sebungkus teh kampung cap “Tilu Pucuk” adalah bagian abadi perbekalan Mamah kalau keluar kampung.
Mamah keluar unit hendak ke lobi. Mau menjemput kenalan yang tadi subuh ketemu di taman apartemen. Karena tiap lantai pakai kartu akses yang berbeda, maka bila akan saling berkunjung kita harus janjian di lobi. Tata krama kehidupan apartemen yang cukup repot menurut Mamah.
Kenalan baru Mamah itu sama-sama orang Sunda katanya. Mereka janjian makan siang bareng. Pantas aja Mamah ngotot minta dicarikan Pohpohan. Ada kenalan baru! Hendra lupa menanyakan kenalan baru Mamah itu laki-laki atau perempuan. Mungkinkah setelah 10 tahun lebih menjanda, Mamah jatuh cinta lagi? Hendra menepis bayangan yang terlalu jauh itu. Ia yakin pikirannya pasti terpengaruh oleh kisah cintanya yang sedang bersemi. Senyum Hendra kembali melebar mengingat sejarah manis pagi itu.
Pintu unitnya dibuka ketika Hendra baru saja selesai meracik teh pesanan Mamah. Mamah masuk bersama seseorang yang seketika hampir membuat Hendra menumpahkan seteko teh panas yang baru dibuatnya.
“Loh, Hendra??” suara bening yang sama kembali meletupkan deyut jantung Hendra yang kini berdegup kencang sekali.
Itu Dewi.


-Pipit Dwia-
November, 2015

(1)       “Itu, lalap! Yang seperti daun Kumis Kucing. Mang Endang punya kebunnya di Lebak (Daerah lembah, atau daerah bawah dekat sungai).
(2)       “Iya, itu!” Kok ada fotonya? Dari mana?”
(3)       Kandang Merpati
(4)       “Ya di bawah, subuh-subuh tadi. Dia lagi olah raga. Tuh, Kalau subuh itu bangun, olah raga! Jangan malas-malasan di kasur. Sebentar yah, Mamah jemput dulu. Itu kalau (air) mendidih tolong seduhkan teh. Itu Mamah bawa saringannya.”