Ada
sebuah rumah mungil yang sederhana, tapi terlihat sangat nyaman. Terutama bila
kita memandangnya di tengah hari yang sangat terik. Mengapa? Karena ada
sebatang pohon Kersen besar di samping rumah itu yang menaungi hampir seluruh
halamannya yang tidak berpagar. Jadi, meski panas menyengat di tengah hari,
halaman dan rumah mungil itu selalu terasa sejuk.
Pohon
Kersen besar itu bernama Ceribu. Pohon kersen yang sangat disayangi oleh semua
penghuni rumah mungil itu, terutama oleh si gadis kecil putri semata wayang sang
pemilik rumah. Nauli nama gadis kecil itu. Dan Ceribu, adalah nama yang
diberikan Nauli saat pohon Kersen itu ditanam di samping rumahnya. Nauli dan Ceribu seperti dua
sahabat yang saling menyayangi. Setiap pagi, sebelum rutinitas menyiram
halamannya, Nauli selalu menyapa dan memeluk Ceribu.
“Selamat
pagi, Ceribu. Apa kabar? Terima kasih untuk kesejukan pagi ini, juga untuk buah-buahmu.
Sehat terus yah Ceribu sayang...”
Maka
setiap pagi juga, Ceribu selalu memberi
hadiah luar biasa berupa buah-buah Kersen matang segar dan merona yang
dijatuhkannya di atas rumput halaman.Nauli bilang, buah Ceribu adalah buah
Kersen termanis di dunia! Di bawah Ceribu yang sejuk ada sebuah bangku kayu
panjang lengkap dengan meja kayunya yang juga panjang. Ayah yang membuatnya
untuk siapapun yang mau menikmati keteduhan pohon itu. Nauli dan teman-temannya
sering belajar bersama di situ, juga Ibu dan beberapa Ibu lainnya sering
bercengkrama di bangku kayu itu. Nauli ingat betul kata-kata Ayah saat membuat bangku
itu dengan susah payah,
“Semakin
banyak orang yang bisa menikmati halaman dan pohon ini, maka Tuhan akan selalu
memberkahi pohon ini agar bisa sehat terus dan berbuah lebat untuk dinikmati
siapapun!”
Lalu,
pada suatu hari, musim hujan tiba.
Kemarau panjang yang terik untuk sementara digantikan oleh musim hujan yang
sejuk namun penuh angin dan becek. Pada
suatu subuh yang masih gelap, Nauli merasakan ada air di lantai kamarnya.
Semalam hujan memang turun sangat deras dan baru berhenti menjelang subuh. Tak
lama, terdengar suara cukup gaduh dari luar. Nauli berlari dan mendapati Ayah dan
Ibu yang terkejut melihat lantai ruang tamu telah dibanjiri air setinggi mata
kaki.Ternyata, kampung kecil tempat Nauli tinggal itu, kebanjiran.
Semua
warga akhirnya bahu-membahu mengatasi banjir. Dan rupanya.. di ujung got besar
saluran air, banyak ditemukan daun-daun dari pohon kersen. Dan karena jumlahnya
sangat banyak, ditambah beberapa sampah plastik dan botol, daun-daun tersebut
hampir menutupi ujung saluran air. Setelah saluran dibersihkan, barulah air
dapat mengalir dengan lancar kembali dan banjir berangsur surut. Karena
kejadian itu, beberapa warga mengusulkan agar Pohon kersen satu-satunya di Kampung
itu yaitu Ceribu, ditebang. Nauli dan keluarganya sangat terkejut.
“Tidak
boleh! Ceribu tidak boleh ditebang! Setiap pagi Ibu selalu menyapu halaman
membersihkan daun-daun yang jatuh, bukan salah Ceribu bila daunnya
berjatuhan..” teriak Nauli.
Ayah
menenangkan Nauli. Ayah menjelaskan bahwa ia sangat mengerti bahwa pohon Kersen
adalah pohon yang sangat mudah gugur daunnya. Setiap hari halaman rumah mereka
memang selalu dipenuhi daun-daun kuning Ceribu. Dan ibu yang selalu menyapunya.
Namun karena Ceribu semakin besar, dahannya kian bertambah dan memanjang hingga
keluar halaman, ada daun-daun yang tak sengaja berjatuhan di atas selokan dan
akhirnya ikut mengalir ke got yang besar dan menumpuk di ujung.
“Kalau
begitu, mengapa kita tidak membersihkan got saja bersama-sama setiap hari? Aku
mau ikut membersihkannya, Ayah! Aku mau mengambil daun-daun Ceribu yang jatuh
ke selokan! Tapi aku mohon Ceribu jangan ditebang... nanti kita tidak bisa lagi
duduk dengan teduh dan makan buah-buahnya lagi..” Nauli terus memohon pada
Ayahnya.
Para
warga yang melihat Nauli menangis dan memohon akhirnya ikut tersentuh. Mereka
menyadari Ceribu bukan sekedar pohon. Ia adalah bagian dari kampung ini. Tempat
siapapun bisa berteduh bila siang sedang terik. Tempat anak-anak di kampung itu
belajar, bermain, memanjat pohonnya dan makan buahnya yang segar, manis dan tak
pernah habis.
“Nauli
benar, bukan Ceribu yang harus kita tebang, tapi kita yang harus rajin
membersihkan saluran air dan lingkungan kita.” Tiba-tiba Pak RW mengeluarkan
suaranya. Semuanya mengangguk-angguk membenarkan saran itu.
Nauli
memeluk Ayah dan Ibu dengan lega.
“Aku
juga sayang para tetangga semua! Karena kata Ayah, semakin banyak orang yang
menikmati pohon kami, Tuhan akan semakin memberkahinya.. Terima kasih semuanya..!”
Ujar Nauli.
Para
warga sangat terharu.Mereka berjanji akan lebih kompak
menjaga dan membersihkan lingkungan, terutamabila musim hujan datang.
Diluar,
dihalaman rumah Nauli. Ceribu tergoyang pelan. Di balik rimbun daun dan lebat
buahnya, Ceribu tersenyum bahagia. Tidak ada yang lebih membahagiakannya selain
disayangi dan dijaga oleh para manusia disekelilingnya.
--- selesai ---
No comments:
Post a Comment